Apa peran strategis DSN-MUI dalam pengembangan aktifitas ekonomi Syariah di Indonesia?

Ada 3 (tiga) aspek yang membuat peran Majelis Ulama Indonesia -melalui DSN-MUI- menjadi strategis dalam pengembangan aktifitas ekonomi Syariah di Indonesia. Aspek historis Majelis Ulama Indonesia telah berperan aktif sebagai penggerak utama dalam pendirian Perbankan Syariah di Indonesia sebagaimana dijelaskan di FAQ “Kilas Sejarah Pembentukan DSN-MUI”. Aspek sosiologis Indonesia memiliki banyak organisasi keagamaan Islam, 70 organisasi di antaranya tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia. Sekitar setengah dari jumlah tersebut memiliki lembaga fatwanya masing-masing, yang metodenya bisa berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan kebingungan, ketidakpastian di tengah masyarakat, dan bahkan termasuk memungkinkan timbulnya konflik. Alhamduluillah, di tengah keragaman yang ada, fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia lebih diterima oleh masyarakat muslim Indonesia secara umum mengingat Majelis Ulama Indonesia dinilai mewakili hampir semua komponen umat Islam. Kondisi ini membuat fungsi Majelis Ulama Indonesia layaknya rumah besar umat Islam di Indonesia. Setidaknya ada 3 (tiga) alasan utama mengapa kewenangan fatwa berada di Majelis Ulama Indonesia: pertama, bank syariah atau Lembaga Keuangan Syariah lain masih memerlukan dukungan dari masyarakat muslim; kedua, bank syariah atau Lembaga Keuangan Syariah lain masih berjuang untuk bersaing dengan perbankan konvensional; dan ketiga, bank syariah atau Lembaga Keuangan Syariah lain membutuhkan dukungan politik dari legislatif dan eksekutif. Majelis Ulama Indonesia memiliki peran strategis dalam menjembatani kepentingan tersebut, baik antara bank syariah atau Lembaga Keuangan Syariah lain dengan masyarakat muslim, lembaga legislatif, dan pihak eksekutif. Aspek yuridis sejak 2008, melalui berbagai peraturan negara seperti Undang-undang Perbankan, Undang-undang Perbankan Syariah, Undang-undang Bank Indonesia, Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara, Undang-undang Penjaminan, Undang-undang UU Asuransi, serta peraturan negara lainnya yang berada di bawah Undang-undang Majelis Ulama Indonesia diberikan kewenangan dalam menetapkan fatwa yang berhubungan dengan aktifitas ekonomi syariah yang dijalankan di Indonesia. Termasuk dalam Undang-undang No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUP2SK), Pasal 337 huruf h, yang menegaskan bahwa MUI adalah lembaga yang berwenang menetapkan fatwa syariah.

Apakah masyarakat umum dapat mengakses fatwa-fatwa DSN-MUI?

Fatwa DSN-MUI dapat diakses oleh siapapun dan dipublikasikan melalui situs resmi DSN-MUI, www.dsnmui.or.id. Berikut ini rincian mengenai informasi apa saja yang dipublikasikan di situs resmi DSN-MUI: Senarai lengkap fatwa DSN-MUI; Pedoman Implementasi Fatwa; Ta’limat; Info pelatihan; Ketentuan dan Tahapan Permohonan Rekomendasi DPS; Persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan (baik lembaga keuangan, bisnis dan perekonomian) untuk memperoleh sertifikat kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, terdiri dari Persyaratan Umum dan Persyaratan Khusus (sesuai bidang usaha); Data Lembaga yang menjalan usaha sesuai prinsip Syariah yang telah mendapatkan rekomendasi Dewan Pengawas Syariah dari DSN-MUI dan masih aktif; dan Senarai lengkap pengurus DSN-MUI untuk masa khidmah berjalan

Bagaimana mekanisme penetapan Fatwa DSN-MUI?

Berikut adalah mekanisme atau langkah-langkah dalam proses penetapan fatwa di lingkungan Dewan Syariah Nasional MUI: BPH DSN-MUI menerima usulan, pertanyaan, dan/atau permohonan Fatwa mengenai suatu produk dan kegiatan LKS, LBS, dan LPS lainnya. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima usulan/pertanyaan, harus menyampaikan usulan tersebut kepada Ketua BPH DSN-MUI. Dalam hal terdapat kondisi yang dinilai memerlukan fatwa, BPH DSN-MUI dapat melakukan penyusunan draft fatwa tanpa adanya permohonan fatwa. Selambat-lambatnya 20 hari kerja dan dapat diperpanjang sesuai keperluan, Ketua BPH DSN-MUI membuat memorandum khusus yang berisi perintah penugasan kepada Tim BPH DSN-MUI untuk melakukan telaah, kajian dan pembahasan terhadap pertanyaan/usulan. Tim BPH DSN-MUI dalam melakukan tugasnya dapat mengundang para ahli dan pihak terkait. Tim BPH DSN-MUI menyampaikan hasil kajiannya kepada Pimpinan BPH DSN-MUI. Pimpinan BPH DSN-MUI menunjuk Tim Penyusun untuk menyusun draft fatwa berdasarkan hasil kajian Tim sebelumnya. Tim Penyusun menyampaikan draft fatwa kepada Pimpinan BPH DSN-MUI Pimpinan BPH DSN-MUI menyelenggarakan Rapat BPH untuk membahas draft fatwa yang telah disusun oleh Tim Penyusun. Pimpinan BPH DSN-MUI menugaskan Tim Penyusun untuk menyempurnakan draft fatwa berdasarkan masukan dari Rapat BPH. Tim Penyusun menyampaikan draft fatwa perbaikan kepada Pimpinan BPH DSN-MUI. Pimpinan BPH DSN-MUI menyampaikan draft fatwa kepada Pimpinan Badan Pengurus Harian DSN-MUI untuk pembahasan dan pengesahan fatwa melalui Rapat Pleno. Pimpinan Badan Pengurus menetapkan jadwal Rapat Pleno untuk pembahasan dan pengesahan fatwa. Fatwa DSN-MUI ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Badan Pengurus DSN-MUI.

Apa wewenang DSN-MUI?

Wewenang DSN-MUi adalah sebagai berikut: memberikan peringatan kepada LKS, LBS, dan LPS lainnya untuk menghentikan penyimpangan dari Fatwa yang diterbitkan oleh DSN-MUI melalui DPS; merekomendasikan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan; membekukan dan/atau membatalkan Sertifikat Syariah bagi LKS, LBS, dan LPS lainnya yang melakukan pelanggaran; menyetujui atau menolak permohonan LKS, LBS, dan LPS lainnya mengenai usul penggantian dan/atau pemberhentian DPS dan Penasihat Syariah atau Komite Syariah pada lembaga yang bersangkutan; merekomendasikan kepada pihak terkait untuk menumbuhkembangkan usaha bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah; dan menjalin kemitraan serta kerjasama dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar negeri untuk menumbuhkembangkan usaha bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah.

Apa tugas DSN-MUI?

Tugas-tugas Dewan Syariah Nasional MUI adalah: menetapkan Fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa LKS, LBS, dan LPS lainnya; mengawasi penerapan Fatwa melalui DPS di LKS, LBS, dan LPS lainnya; membuat Pedoman Implementasi Fatwa untuk lebih menjabarkan Fatwa tertentu agar tidak menimbulkan multi penafsiran pada saat diimplementasikan di LKS, LBS, dan LPS lainnya; mengeluarkan Surat Edaran (Ta’limat) kepada LKS, LBS, dan LPS lainnya; memberikan rekomendasi anggota dan/atau mencabut rekomendasi anggota DPS dan Penasihat Syariah atau Komite Syariah pada LKS, LBS, dan LPS lainnya; memberikan Rekomendasi calon ASPM dan/atau mencabut Rekomendasi ASPM; menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atau Pernyataan Keselarasan Syariah bagi produk dan ketentuan yang diterbitkan oleh Otoritas terkait; menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa LKS, LBS, dan LPS lainnya; menerbitkan Sertifikat Syariah bagi LBS dan LPS lainnya yang memerlukan; menyelenggarakan Program Sertifikasi Keahlian Syariah bagi LKS, LBS, dan LPS lainnya; melakukan sosialisasi dan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah; dan menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.

Apa progres setelah PP Nomor 72 Tahun 1992?

Beberapa tahun setelah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 terbit, pada tanggal 29 s.d. 30 Juli 1997, MUI menyelenggarakan Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah di Jakarta. Salah satu butir penting dari rekomendasinya adalah agar MUl segera mendirikan sebuah lembaga yang menangani -atau lebih tepatnya memberikan bimbingan, pedoman, dan fatwa mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas bisnis di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan kegiatan ekonomi syariah secara umum. Berangkat dari rekomendasi ini, pada 14 Oktober 1997, MUI mengadakan rapat Tim Pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN). Dua tahun setelah Tim Pembentukan DSN bekerja, Dewan Pimpinan MUI menerbitkan Surat Keputusan No. Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syariah Nasional MUI. Lima hari kemudian, atau tanggal 15 Februari 1999, Dewan Pimpinan MUl mengadakan acara ta’aruf dengan Pengurus DSN-MUI  di Hotel Indonesia, Jakarta. Dalam acara ta’aruf ini Menteri Agama saat itu, Prof. H. Malik Fadjar, M.Ed. melantik para pengurus Dewan Syariah Nasional MUI yang telah ditetapkan berdasarkan Kep-754/MUI/II/1999.

Apa substansi dari PP Nomor 72 tahun 1992?

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, tepatnya di dalam Pasal 5 dinyatakan: Ayat 1: Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariat yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan sesuai dengan prinsip Syariat Ayat 2: Pembentukan Dewan Pengawas Syariat dilakukan oleh Bank yang bersangkutan berdasarkan hasil konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia Penjelasan Pasal 5 ayat 2 ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia dalam ayat ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Pasal 5 dalam Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil merupakan dasar formal regulasi pertama bagi Majelis Ulama Indonesia untuk mendirikan Dewan Syariah Nasional. Namun sebelum Peraturan Pemerintah ini terbit, Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan Dewan Pengawas Syariah di Bank Mualamat Indonesia, antara lain K.H. Hasan Basri, Prof. K.H. Ali Yafie dan Prof. KH. Ibrahim Hosen.

Apa tugas Tim Perbankan MUI dimaksud?

Tim Perbankan MUI bertugas menjalin pendekatan dan konsultasi dengan berbagai pihak terkait. Pada 1 November 1991, ditandatangani akta pendirian bank pertama di Indonesia yang menggunakan sistem tanpa bunga, yaitu PT Bank Muamalat Indonesia, yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia. Upaya Tim Perbankan MUI mendapat dukungan positif dari pihak legislatif dan eksekutif, yang diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini mencakup aturan yang memungkinkan kegiatan perbankan menggunakan prinsip syariah, dikenal dengan istilah ‘bagi hasil’ (Lihat Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c).  Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut, pada 30 Oktober 1992, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, yang tercantum dalam Lembaran Negara 1992/119, dengan penjelasan lebih lanjut dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 3505.

Apa hasil lokakarya yang menjadi cikal bakal pembentukan DSN-MUI?

Lokakarya sebagaimana dimaksud di atas menghasilkan sebuah dokumen penting yang terdiri dari 6 (enam) bab, terdiri dari: pendahuluan, status hukum bunga, sistem perbankan tanpa bunga, pengembangan sosial ekonomi masyarakat, rekomendasi, dan penutup. Hasil dari lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam dalam Musyawarah Nasional ke-4 MUI yang digelar pada 22-25 Agustus 1990 di Hotel Sahid, Jakarta. Atas amanat Munas ke-4 MUI, dibentuk sebuah kelompok kerja yang bertugas untuk merintis pendirian Bank Islam di Indonesia, yang dikenal dengan Tim Perbankan MUI.

Apa awal proses yang melatarbelakangi berdirinya DSN-MUI?

Sejarah berdirinya Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dimulai dari Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diselenggarakan oleh MUI Pusat bersama berbagai elemen umat pada 1-22 Agustus 1990 di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Lokakarya ini dihadiri oleh 165 peserta yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk MUI Pusat, MUI Daerah (provinsi dan kabupaten/kota), ormas-ormas Islam, akademisi, pejabat, pengusaha, serta individu.