ARTIKEL

Pengelolaan Makan Kolektif: Benih Asuransi Syariah di Pesantren

Penulis: M Faishol

Pengelolaan Makan Kolektif: Benih Asuransi Syariah di Pesantren

Pengelolaan dana kolektif telah menjadi praktik yang lazim di berbagai lingkungan sosial, termasuk di lingkungan pesantren. Salah satu contohnya adalah mekanisme pembayaran biaya makan santri, di mana setiap pelajar diwajibkan membayar sejumlah uang tetap—misalnya 300 ribu rupiah per bulan—tanpa memperhitungkan perbedaan dalam konsumsi. Dalam kenyataannya, ada santri yang mengonsumsi makanan lebih banyak, ada yang lebih sedikit, bahkan ada yang mungkin tidak makan dalam satu atau dua hari. Sekilas, sistem ini tampak tidak adil jika dilihat dari sudut pandang konsumsi individu dan ada unsur ketidakpastian (gharar).

Kewajiban Finansial Lain Atas Muslim Di Luar Zakat

Penulis: Muhammad Faishol

Kewajiban Finansial Lain Atas Muslim Di Luar Zakat

Hadis Nabi s.a.w. menjelaskan “Pada aset (kekayaaan sesorang) terdapat kewajiban lain selain zakat”. Hadis secara eksplisit menetapkan adanya kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh seorang muslim yang mampu selain zakat. Dengan hadis ini beberapa ulama fiqh menegaskan bahwa di antara kewajiban lain tersebut adalah kewajiban mencukupi kebutuhan orang-orang miskin dan masyarakat yang membutuhkan di sebuah wilayah jika zakat, waqaf, sedekah jariyah, kaffarah, dan nadzar tidak mampu atau tidak mencukupi untuk menanggulangi kebutuhan mereka.

Keunikan Institusi Keuangan dan Bisnis Islam: Dari Prinsip ke Praktik Nyata

Penulis: Muhammad Faishol

Keunikan Institusi Keuangan dan Bisnis Islam: Dari Prinsip ke Praktik Nyata

Institusi keuangan dan bisnis Islam memiliki tanggung jawab untuk menampilkan perbedaan yang nyata dan esensial, bukan hanya perbedaan formal, dari produk dan praktik institusi keuangan konvensional. Larangan terhadap riba dan akad-akad yang mengandung unsur gharar tidak hanya dilandasi pertimbangan teknis, tetapi juga prinsip moral dan keimanan yang menjadi inti dari sistem ekonomi Islam.

Kecerdasan Buatan dalam Menjawab Tantangan Fiqih Islam Kontemporer

Penulis: Muhammad Faishol

Kecerdasan Buatan dalam Menjawab Tantangan Fiqih Islam Kontemporer

Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) merupakan fenomena teknologi yang kini merambah dunia kita, menjadi penggerak utama berbagai teknologi, seperti pengumpulan data besar, robotika, dan digitalisasi objek. Di tengah banyak tantangan yang dihadapi oleh agama kita, muncul berbagai pertanyaan mengenai peran yang dapat dimainkan oleh AI dalam menghadapi berbagai isu fiqih kontemporer dan baru, dengan mempertimbangkan perspektif mazhab-mazhab Islam yang beragam, serta menghasilkan fatwa-fatwa berdasarkan sumber-sumber dan referensi yang relevan.

Tiga Makna dalam Zakat Sebagai Salah Satu Pilar Islam

Penulis: Muhammad Faishol

Tiga Makna dalam Zakat Sebagai Salah Satu Pilar Islam

Pengakuan atau pernyataan syahadat adalah komitmen verbal untuk mengesakan Allah S.w.t. Namun, komitmen ini harus disertai keikhlasan tauhid dan tentu tidak cukup hanya dengan kata-kata, ia harus dibuktikan melalui tindakan.

Kaidah Fiqh: Al-Kharaj bi Adh-Dhaman

Penulis: Muhammad Faishol

Kaidah Fiqh: Al-Kharaj bi Adh-Dhaman

Redaksi kaidah al-kharaj bi adh-dhaman merupakan penggalan sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’iy, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasa`iy, Ibn Majah, dan Ibnu Hibban. Redaksi lengkap hadis ini adalah “Ada seseorang (pembeli) telah membeli budak dan budak itu tinggal selama beberapa waktu bersamanya. Lalu dia (pembeli) menemukan adanya cacat di budak tersebut. Dia mengajak penjualnya untuk menyelesaikan masalah ini kepada Rasulullah –shalawat dan salam untuknya. Rasulullah –shalawat dan salam untuknya– memutuskan pembeli mengembalikannya kepada penjualnya. Namun penjual berkata, “Wahai Rasulullah. Dia sudah memanfaatkannya!” Rasulullah –shalawat dan salam untuknya– menjawab, “Hasil (ouput) dari sesuatu (dapat) diperoleh sebab adanya tanggung jawab (atas potensi kerugian dan biaya).”

Understanding The Misunderstood Concept

Penulis: Ikhwan Abidin Basri

Understanding The Misunderstood Concept

Keinginan kaum muslimin terutama para intelektual dan ulama mereka untuk dapat hidup dalam naungan Islam secara kaffah adalah suatu impian yang tak pernah padam. Bahkan hal itu merupakan tuntutan agama yang wajib dipenuhi. Selama ini mereka hanya dapat mengimplementasikan ajaran agama di bidang-bidang tertentu saja seperti bidang ubudiyah, lalu ditambah sedikit budaya, sedikit politik dan sedikit lagi di bidang keuangan dan ekonomi. Padahal Islam diturunkan kepada umat manusia sebagai hidayah atau huda atau petunjuk agar dipeluk secara kaffah sehingga terasa makna rahmatan lil alamin. Tanpa aplikasi yang kaffah tidak mungkin dapat dirasakan makna Isam sebagai rahmatan lil alamin. Karena kolonialisme Barat atas dunia Islam yang begitu lama, maka yang muncul ke permukaan hanyalah Islam parsial sehingga gambaran Islam yang kaffah tidak pernah mucul lagi selama ratusan tahun hingga hari ini. Setelah perjuangan membebaskan diri dari penjajahan, maka kaum muslimin dapat mengatur agenda pembangunan untuk mengisi kemerdekaan tersebut. Salah satu agenda yang sudah cukup lama untuk dilaksanakan adalah menata sistem ekonomi sesuai dengan tuntutan Islam yang melarang riba, gharar, maysir, zhulm dan maksiat. Sejak itu, para pakar dan ulama mulai bahu membahu mewujudkan lembaga keuangan yang bebas dari hal-hal di atas. Ketika lembaga-lembaga keuangan Islam ini mulai banyak tumbuh di negeri-negeri muslim bahkan juga di negara-negara non muslim, ada sekelompok kecil yang melihat hal itu dengan kaca mata hitam pekat. Kelompok ini tidak saja meragukan atas  upaya penegakan ekonomi dan keuangan Islam, melainkan mendakwahkan ke sana kemari bahwa  lembaga-lembaga keuangan Islam ini tidak pantas dilabeli Islam atau syariah. Di mata kelompok kecil tersebut, substansi antara lembaga keuangan syariah dan  konvensional, sama saja, tidak ada perbedaan asasi. Keduanya sama-sama tetap mengandung riba, gharar dan maysir. Dengan demikian seluruh upaya keras yang selama ini dilakukan oleh kaum Muslimin, para ulamanya serta kaum  intelektualnya hanyalah upaya yang sia-sia bahkan bisa dikategorikan menipu Allah dan RasulNya, dan umat Islam secara keseluruhan. Validkah Penilaian Tersebut? Bagi penulis, penilaian itu terlihat sangat terburu-buru. Bagaimana mungkin tidak ada perbedaan antara lembaga keuangan syaraiah dan non syariah. Para ulama dan intelektual Muslim sudah sangat paham akan keharaman riba dan kawan-kawannya, bahkan mereka juga sudah merasakan madharatnya bagi pelaku dan masyarakat yang membolehkan “barang” haram tersebut. Karena itu, pada saat mereka memutuskan untuk mendirikan lembaga ekonomi dan keuangan Islam tujuannya adalah justru untuk menghindarkan diri dari  riba, gharar, dan maysir? Pada saat memasang niat itu, para penggagas ekonomi dan keuangan syariah tentu sama sekali tidak terpikir untuk bermain-main dengan riba, gharar dan maysir  yang jelas-jelas dilarang oleh ajaran Islam. Keharaman hal-hal di atas tidak perlu lagi diperdebatkan karena begitu jelas. Secara fikih keharaman hal-hal itu adalah ma’luum minad diin bidh-dharuurah. Para pengkritik keuangan syariah ini sepertinya tidak berpikir bahwa penggagas lembaga keuangan Islam ini adalah para ulama, intelektual yang sangat paham tentang fikih muamalah dan detil-detil keuangan modern. Akan tetapi kritik-kritik bahwa praktik-praktik di lembaga keuangan syariah terutama perbankan syariah yang dinilai melenceng dari nilai syariah, sudah terlanjur tersebar di publik. Akibat dari ini semua, masyarakat menjadi bingung. Situasi ini tentu tidak menguntungkan bagi perkembangan industri keuangan syariah yang tengah diupayakan oleh seluruh stake holder syariah di Indonesia.Alih-alih saling menyalahkan, lebih baik kita fokuskan perhatian kita untuk mengurai kebingungan ini, agar umat tidak makin bingung. Pertama, kita mesti tanamkan bahwa khilafiah (perbedaan) adalah hal biasa.Kebingungan yang tengah melanda industri keuangan syariah di Indonesia belakangan ini muncul karena ada pengkritik yang mengatakan bahwa praktik-praktik di industri itu tidak sesuai dengan ketentuan syariah. Hal itu tampaknya terjadi karena mereka tidak terbiasa atau belum terbiasa dengan menyikapi khilafiah dalam kehidupan beragama terutama dalam konteks fikih muamalah. Jika dikaji dengan teliti dan mendalam, sesungguhnya banyak sekali perbedaan pendapat di kalangan ulama dan fuqaha dalam banyak sekali persoalan fikih muamalah. Termasuk dalam akad-akad yang sudah sangat familiar, seperti ijarah dan lain-lain. Menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab manumentalnya, alfiqh al-Islami wa adillatuh juz 4 halaman 730, dalam bab aqd al-iijar, bahwa fuqahaa` menyepakati keabsahan dan kesyariahan akad ijarah kecuali beberapa ulama seperti Abu Bakar al-‘Ashom, Ismail bin Aliyyah, Hasan Basri, Qosyasyi, Nahrawani dan Ibnu Kisan. Mereka ini berpendapat bahwa akad ijarah itu gharar karena ketika akan diselenggarakan, barangnya tidak ada atau tidak nyata sehingga menimbulkan ketidak pastian dan ketidak jelasan (gharar). Namun perjalanan fikih muamalah pada hakekatnya mengikuti arah kebutuhan dan hajat kaum muslimin sehingga pandangan jumhur ulama tentang validitas dan keabsahan akad ijarah yang akhirnya berlaku dan kaum muslimin dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial, komersial, kultural dan politik  mereka sehingga kehidupan menjadi nyaman, mudah dan elegan. Bayangkan apa yang akan berlaku  jika yang terjadi adalah sebaliknya. Inilah peradaban Islam di sepanjang sejarahnya. Sebuah peradaban yang berjalan penuh dengan inovasi dan kreatifitas di bidang fikih muamalah. Seperti ijarah, begitu juga berlaku pada akad-akad lainnya. Kedua, kita bisa melihat dua kemungkinan kategorisasi para kritikus ini, yang pertama, mereka sangat paham seluk-beluk keuangan konvensional dan syariah sekaligus. Dengan kata lain, kita berhusnudhan bahwa pada diri mereka terkumpul pengetahuan yang mapan tentang keuangan moderen konvensional dan pada saat yang sama, sangat mendalam pengetahuan mereka dalam fikih muamalah maaliyah. Kombinasi kemampuan seperti itu patut diragukan mengingat bahwa industri keuangan syariah ini pada dasarnya adalah fenomena baru bahkan untuk ukuran di masyarakat Timur Tengah sekalipun. Karena itu menemukan individu yang benar-benar menguasai dua bidang utama itu boleh dibilang sangat sulit. Untuk menyimpulkan bahwa praktik keuangan syariah di Indonesia tidak syariah dibutuhkan skill dan competency keilmuan dan kepakaran yang lengkap. Karena dibutuhkan kompetensi di bidang fiqih muamalah maaaliyah dan pada saat yang sama memiliki pemahaman yang kuat tentang seluk beluk dan lika liku keuangan konvensional, dan itu yang agaknya masih sulit ditemui. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengkritik dalam kategori ini belum ada ditemukan. Biasanya mereka berasal dari kategori kedua yaitu mereka adalah sarjana syariah tapi sangat tidak memahami seluk beluk keuangan konvensional  modern serta hukum perdata yang berlaku di mana lembaga keuangan syariah itu beroperasi. Akibatnya, secara ilmiah kritikan mereka itu tidak berdasar dan tidak mengena. Ketiga, bahwa pengkritik tidak memahami seluk-beluk keuangan konvensional dan syariah ditambah kurang memahami fiqih muamalah. Pengkritik ini biasanya baru masuk ke dalam industri keuangan dengan idealisme tertentu dalam pikirannya. Ketika mereka merasakan ada … Baca Selengkapnya

Perbedaan Syarikah al Milk dan Syarikah al ‘Aqd

Penulis: Muhammad Faishol

Perbedaan Syarikah al Milk dan Syarikah al ‘Aqd

Ketika belajar Syirkah/Syarikah, khususnya saat belajar musyarakah mutanaqishah, sering muncul pertanyaan, apa perbedaan antara syarikah al milk dan syarikah al ‘aqd. Tulisan ini mencoba menjelaskan perbedaan keduanya. 1. Syarikah al Milk (شركة الملك) Dalam syarikah al milk, hubungan sesama mitra (syuraka`) tidak mengandung unsur wakalah dan kafalah. Dengan demikian, mitra (syarik) yang satu bukan merupakan wakil dan kafil dari mitranya yang lain terkait dengan asset atau barang yang dimiliki bersama oleh keduanya. Contoh, bapak A dan bapak B secara bersama-sama memiliki sebuah motor Honda. Entah itu dari hasil beli patungan atau hasil warisan atau hasil pemberian dari orang lain untuk mereka berdua. Kepemilikan bersama (syarikah) terhadap motor Honda oleh kedua orang tersebut disebut syarikah al milk jika masing-masing mitra (bapak A dan bapak B) tidak saling menyerahkan hak perwakilan (wakalah) untuk melakukan tasharruf dan tidak ada saling kafalah. (lihat arti tashaaruf di bawah) Maksudnya begini, jika bapak A tidak menyerahkan hak tasharruf atas porsi yang menjadi miliknya kepada bapak B dan sebaliknya, bapak B tidak menyerahkan hak tasharruf atas porsi yang menjadi miliknya kepada bapak A maka syarikah seperti ini adalah syarikah al milk. Mari contoh di atas diperjelas. Jika bapak A tidak mengizinkan bapak B (atau sebaliknya) untuk menjual porsi yang menjadi miliknya (milik bapak A dan sebaliknya) dari sebuah motor Honda tersebut maka syarikah ini disebut syarikah al milk. Ketidak-adaan hak bagi mitra untuk bertindak atas porsi mitranya yang lain ini membuat akad jual motor dimaksud bisa dibatalkan sama sekali atau batal untuk porsi mitra yang tidak mengizinkan. Contoh lain, masih dengan contoh di atas, jika bapak A ngojek dengan motor Honda milik bersama dan mendapatkan uang, maka (1) bapak A berdosa; dan (2) bapak B berhak atas ujrah wajar (ujrah al mitsl) sebagai akibat porsinya (pada motor tersebut) dimanfaatkan untuk ngojek oleh bapak A. (Besaran ujrah al mitsl akan menjadi pembahasan tersendiri) Di samping itu, syarikah al milk juga tidak mengandung kafalah. Jika bapak A merusak motor Honda milik bersama tadi (entah merusak secara sengaja atau tidak), maka porsi kepemililkan bapak B tidak berubah. Kerusakan motor sepenuhnya menjadi tanggungjawab bapak A karena dia yang merusaknya. Katakanlah motor Honda milik bersama tadi sebelum dirusak bapak A seharga 10 juta di mana porsi masing-masing adalah 50%, dan akibat kerusakan ini motor terjual dengan harga 7 juta maka bapak B tetap memiliki hak sebesar 5 juta sedangkan bapak A mendapat haknya hanya sebesar 2 juta. Karena tidak ada kerugian yang ditanggung bersama dalam syarikah al milk. Bapak A harus rela kehilangan 3 juta-nya. Jika anda dan saudara anda mendapat warisan sebuah rumah, lalu rumah dirusak oleh saudara anda, maka nilai hak yang berkurang hanya di sisi hak saudara anda. Sedangkan bagian anda tidak berkurang. Demikian karakter syarikah al milk. Jadi, bapak A (mitra 1) hanya berhak atas porsi miliknya dan bapak B (mitra 2) hanya berhak atas porsi miliknya. Bapak A tidak bisa dan tidak ada hak untuk -contoh- menjual porsi milik mitranya (bapak B). Begitu juga bapak B tidak boleh mengutak-atik porsi yang menjadi bagian mitranya, yaitu bapak A. Mengutak-atik dalam arti menjual, menyewakan atau tindakan apapun yang berakibat hukum. 2. Syarikah al ‘Aqd (شركة العقد) Berbeda dengan syarikah al milk, hubungan sesama mitra dalam Syarikah al ‘Aqd mengandung unsur wakalah dan kafalah. Ini artinya setiap mitra diberi hak oleh mitranya yang lain untuk melakukan tasharruf terhadap aset yang dimiliki bersama. Contoh, bapak A dan bapak B memilik bersama sebuah motor Yamaha. Mereka (para mitra yaitu bapak A dan bapak B) saling memberikan hak untuk mengelola asset bersama, yaitu motor Yamaha. Contoh mengelola adalah disewakan, dijual-belikan dan lain-lain. Contoh pengelolaan, bapak A mengizinkan kepada bapak B (dan sebaliknya) untuk menyewakan porsi kepemilikan masing-masing terhadap motor Yamaha milik bersama kepada pihak ke-3 di mana uang hasil sewa menjadi milik mereka (A dan B) sesuai kesepakatan atau sesuai porsi kepemilikan mereka. Contoh ini menjelaskan bahwa setiap mitra mengizinkan porsi kepemilikannya dikelola atau di-tasharruf-kan oleh mitra yang lain. Itu artinya dalam syarikah al ‘aqd terdapat unsur wakalah. Syarikah al ‘Aqd juga mengandung unsur kafalah. Untuk itu, jika motor Yamaha ini dirusak oleh salah satu mitra secara tidak sengaja, maka kerugian akibat kerusakan ditanggung bersama oleh kedua belah mitra (bapak A dan bapak B) sesuai dengan porsi kepemilikan. Contoh, porsi kepemilikan masing-masing senilai 50%, harga motor Yamaha sebelum rusak adalah 10 juta, dan akibat rusak dijual dengan harga 7 juta, maka masing-masing menanggung kerugian sesuai porsinya yaitu 50%. Dengan demikian, kerugian sebesar 3 juta dibagi rata kepada A dab B, sehingga masing-masing menanggung 1,5 juta. Untuk itu, uang hasil penjualan (jika syarikah ingin dibubarkan/tashfiyah) maka masing-masing mendapat 3,5 juta. Kesimpulannya, jika dalam syarikah atau kepemilikan bersama terdapat unsur saling wakalah dan saling kafalah maka kepemilikan bersama ini adalah syarikah al ‘aqd. Sebaliknya, jika tidak ada unsur saling wakalah dan saling kafalah maka ia adalah syarikah al milk. ———- Tasharruf adalah segala tindakan yang berakibat hukum atas asset baik ucapan atau perbuatan. Tasharruf semacam disposition, yaitu getting rid of an asset or security through a direct sale or some other method. Di antara tasharruf adalah menjual, menyewakan dan bentuk perpindahan kepemilikan lainnya. * Tulisan ini merujuk ke pelbagai sumber, di antaranya al Mawsu’ah al Fiqhiyyah.

5 (Lima) Sahabat Terkaya yang Diberitakan Masuk Surga

Penulis: Muhammad Faishol

5 (Lima) Sahabat Terkaya yang Diberitakan Masuk Surga

Artikel ini terinspirasi oleh tulisan Dr. Yusuf ibn Ahmad al-Qasim. Dalam artikelnya, beliau merujuk kepada beberapa buku, di antaranya Tarikh al-Islam dan Sayr A’lam al-Nubala`. Tulisan ini ini menambahkan verifikasi dari sumber-sumber lain yang dijelaskan pada tempatnya.

Ilmu Ekonomi Islam: Rasionel Suatu Disiplin Baru

Penulis: Ikhwan Abidin Basri

Ilmu Ekonomi Islam: Rasionel Suatu Disiplin Baru

Pesatnya kemajuan teknologi masa kini telah menjadikan dunia menyerupai sebuah desa kecil. Kendatipun kepesatan teknologi telah mampu mereduksi secara dramatis jarak antara berbagai belahan dunia, akan tetapi irionis sekali bahwa jurang pemisah hubungan antar manusia justru kian melebar. Dan kendatipun, di satu pihak, terdapat kemajuan dalam memberikan apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan budaya, peradaban, tradisi dan gaya hidup kita tetap saja disuguhi berita-berita tentang pelanggaran HAM di mana-mana; tidak saja di negara-negara berkembang melainkan juga di negara-negara maju. Barangkali  inilah salah satu penyebab utama situasi umum di mana fenomena konflik merupakan ciri menonjol yang dominan dalam hubungan antar masyarakat manusia dewasa ini baik itu lokal, regional maupun internasional. Kini banyak kemajuan yang menyiratkan bahwa hakikat hubungan ini telah mulai berubah. Secara ekonomi kita tengah bergerak menuju suatu kooperasi dan saling ketergantungan. Globalisasi yang kini tengah membentuk dirinya menunjukkan pola di atas. Dalam konteks skenario ekonomi masa kini yang ditandai oleh persaingan, efisiensi, pragmatisme dan keterbukaan adalah sangat tepat jika kita melihat suatu kemungkinan baru yang mencoba mengajukan suatu alternatif dalam disiplin keilmuan sosial dan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam yang berbeda dari sistem ekonomi konvensional. Ilmu ekonomi Islam (Islamic Economics), barangkali itulah namanya, menjadi pembicaraan yang hangat di kalangan para ilmuwan sosial baik muslim maupun non-muslim. Ilmu Ekonomi Islam ini diyakini merupakan obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai macam simptom penyakit ekonomi yang diderita oleh umat manusia sejagat. Teori Ekonomi Masa Kini Apabila kita renungkan secara mendalam tentang situasi ekonomi kontemporer, maka kita akan berkesimpulan bahwa ada satu problem ekonomi yang sangat mendasar yang sedang kita hadapi sekarang. Kerangka kerja ekonomi yang telah dikembangkan selama 5 dekade terakhir tidak mampu memecahkan masalah tersebut. Malahan kerangka kerja ekonomi kovensional itu telah menghadapkan kita pada kemiskinan massal, kegagalan tinggal landas dalam proses pembangunan, dan penurunan secara substansial kualitas kesejahteraan material manusia. Di pihak lain, terutama di negara-negara maju, kerangka kerja ilmu ekonomi konvensional tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan ekonomi seperti pengangguran, inflasi, stagflasi, ketidakstabilan moneter, defisit anggaran belanja dan masalah-masalah lingkungan. Dalam kaitannya dengan ekonomi internasional, kita justru melihat kian melebarnya disparitas antara berbagai negara dan kawasan baik yang bersumber dari perbedaan penguasaan ilmu pengetahuan maupun teknologi atau karena sebab-sebab sosio-ekonomi yang berujung kepada divergensi kondisi material yang antagonis. Belum lagi ditambah dengan ketidak merataan distribusi pendapatan dan kekayaan yang kini telah menjadi pemicu utama gejolak sosial di mana-mana dan pengurasan sumber-sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui (non-renewable resources) secara irasional telah menjadi suatu ancaman serius bagi kelangsungan peradaban umat manusia. Banyak pakar yang telah mengisyaratkan kelemahan-kelemahan teroritis ilmu ekonomi konvensional dan sebagian malah ada yang mengajukan proposal radikal dengan mengajukan usul untuk mengganti paradigma ilmu ekonomi yang ada. Prof. P.A. Samuelson, peraih hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi tahun 1970, Gunnar Myrdal, peraih Nober 1974, Jan Tinbengen, peraih Nobel pertama di bidang ekonomi pada tahun 1969, Harvey Leibenstein, Kurt Dopfer dan masih banyak lagi yang lain adalah sejumlah kecil dari pakar Barat yang dengan jelas melihat kelemahan dan kekurangan dalam paradigma ilmu ekonomi konvensional. Karena itu amatlah benar jika orang berpendapat bahwa bagaimana mungkin suatu cabang ilmu pengetahun yang di dalam dapur epistimologinya terdapat demikian banyak persoalan filosofis yang tidak terselesaikan akan dapat memberikan kesejahteraan material dan spiritual, kedamaian, kebahagiaan kepada manusia. Maka pantaslah jika persoalan pokok ekonomi seperti pemenuhan kebutuhan pokok, pendidikan, fasilitas kesehatan, keamanan sosial dan lain sebagainya masih jauh dari yang diinginkan dalam buku-buku teks ilmu ekonomi. Kebangkitan Islam Kontemporer Menggejalanya kajian-kajian di seputar ilmu ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan dari fenomena kebangkitan kembali  (Islamic Resurgance) kepada ajaran-ajaran Islam yang segar dan orisinal dan yang telah melanda di seluruh dunia Islam bahkan di kawasan minoritas Muslim. Studi yang cukup serius dalam aspek ini merupakan buah dari gerakan kebangkitan Islam yang meliputi semua aspek kehidupan manusia, apakah itu politik, ekonomi, moral, ideologis atau kultural. Kebangkitan Islam yang melanda hampir di seluruh dunia kini tengah mencari kehidupan baru, suatu tatanan baru di mana jangkauannya tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi belaka. Penggerak utama di balik kebangkitan ini adalah keinginan mereka untuk merekonstruksi struktur masyarakatnya dan perekonomiannya dengan mengadopsi nilai-nilai keimanan, agama dan tradisi sejarah mereka. Sama dengan gelombang lautan, gelombang kebangkitan ini tidak dapat dihentikan oleh kekuatan manusia manapun juga. Bahkan seorang sekaliber Jimmy Carter, mantan presiden Amerika Serikat, terpaksa harus mengakui riak gerakan kebangkitan Islam di Amerika dengan lapang dada, karena menyadari bahwa gerakan ini tidak dapat dihentikan. Bagaimana mungkin mereka akan menghentikan laju gerakan ini, jika roh yang menjadi penggerak kebangkitan ini adalah Islam itu sendiri. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Terkesan oleh krisis yang melanda teori ekonomi kontemporer, para pakar ekonomi Muslim mencoba melakukan suatu terobosan dengan membangun suatu pendekatan baru, suatu disiplin baru yang dapat digambarkan sebagai ilmu ekonomi Islam. Tentu disiplin ini masih dalam proses kelahirannya atau dalam pembentukan formatnya. Namun demikian contour-nya sudah sangat jelas. Nah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu ekonomi Islam itu ? Banyak kalangan umat Islam yang hingga kini masih belum mendapatkan gambaran yang benar mengenai Ilmu ekonomi Islam. Sebagian dari mereka menganggap ilmu ekonomi Islam adalah bank Islam, asuransi Islam dan lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Sebagian lainnya menggambarkan bahwa ilmu ekonomi Islam adalah bagian dari fiqh yang berkaitan dengan muamalah. Sebagian lainnya bahkan memandang bahwa ekonomi islam itu tidak lain adalah “ayatisasi” – legitimasi teori dengan ayat-ayat al Qur’an – dari ilmu ekonomi yang sedang diajarkan. Ketidak jelasan mengenai ekonomi Islam itu adalah wajar mengingat bahwa ilmu ekonomi Islam masih dalam taraf pembentukan. Meskipun para pakarnya sudah memberikan gambaran yang lebih jelas dan komprehensif, tetapi pada tingkat lintas disiplin masih menemukan berbagai tanggapan sehingga masih sangat perlu adanya perjernihan konsep untuk mendudukan persoalan tersebut pada proporsi yang tepat. Di sini akan dicoba untuk memberikan batasan tentang ilmu ekonomi islam berdasarkan definisi-definisi yang diajukan oleh para pioner ekonomi Islam. Ilmu ekonomi Islam adalah suatu upaya yang sistematis mempelajari masalah-masalah ekonomi dan perilaku manusia dan interaksi antara keduanya. Upaya ilmiah itu juga mencakup masalah pembangunan suatu kerangka kerja ilmiah untuk membentuk pemahaman teroritis (theoritical understanding), rekayasa institusi yang diperlukan dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan proses produksi, distribusi dan konsumsi yang dapat membantu … Baca Selengkapnya