Pengelolaan dana kolektif telah menjadi praktik yang lazim di berbagai lingkungan sosial, termasuk di lingkungan pesantren. Salah satu contohnya tercermin dalam sistem makan santri di pesantrennya, di mana setiap santri diwajibkan membayar sejumlah uang —katakan, 300 ribu rupiah per bulan—tanpa memperhitungkan perbedaan dalam konsumsi. Ada santri yang mengonsumsi makanan lebih banyak, ada yang lebih sedikit, bahkan ada yang mungkin tidak makan dalam satu atau dua hari. Sekilas, sistem ini tampak tidak adil jika dilihat dari sudut pandang konsumsi individu, termasuk adanya unsur ketidakpastian (gharar).
Namun, praktik yang telah berlangsung ratusan tahun di dunia pesantren ini —pesantren mulai muncul di Indonesia diperkirakan sekitar abad ke-13 Masehi, sebenarnya memiliki landasan yang kuat dalam nilai-nilai Islam. Prinsip utama yang diutamakan bukanlah kesetaraan material dalam konsumsi, melainkan nilai tolong-menolong (ta’awun) dan solidaritas dalam memenuhi kebutuhan bersama. Setiap individu berkontribusi untuk menciptakan sistem yang memungkinkan semua pihak terpenuhi kebutuhannya, tanpa melihat perbedaan yang mungkin terjadi dalam jumlah manfaat yang diterima.
Prinsip yang sama juga menjadi dasar dalam sistem Asuransi Syariah, di mana para peserta menyumbangkan dana ke dalam kumpulan dana bersama (Dana Tabarru’) untuk saling membantu saat salah satu di antara mereka membutuhkan. Meskipun kontribusi dan manfaat yang diterima tidak selalu seimbang secara material, nilai kebersamaan, kebermanfaatan kolektif, dan semangat saling mendukung menjadi prioritas utama.
Praktik ini menunjukkan bagaimana pesantren selama berabad-abad telah mempraktikkan asuransi syariah yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus relevan untuk diterapkan dalam skala yang lebih besar seperti industri keuangan syariah di era modern.
Al-Munahadah (المناهدة أو التناهد أو النِهد أو النَّهد أو المخارجة)
Al-Munahadah (disebut juga dengan istilah al-tanahud atau al-nihd atau al-nahd atau al-mukharajah) adalah praktik pengumpulan bekal perjalanan oleh setiap anggota suatu suatu kelompok untuk dikelola bersama, baik untuk dimakan bersama atau dibagi sesuai kebutuhan. Praktik ini legal syar’iy berdasarkan bukti Al-Qur’an, Sunnah, dan konsensus ulama. Hanya saja, konsensus ini dilanjutkan dengan perbedaan pandangan apakah praktik ini masuk dalam kategori mu’awadhah atau tabarru’ .
Al-Munahadah dalam Al-Qur`an
- Surah Al-Baqarah (2:220): Ayat ini mengizinkan wali anak yatim menggabungkan hartanya dengan harta anak yatim untuk keperluan bersama. Hal ini mendukung legitimasi al-munahadah.
- Surah Al-Kahfi (18:19): Ashhabul Kahfi mengumpulkan uang secara kolektif untuk membeli makanan bersama.
- Surah Al-Nur (24:61): Ayat ini membolehkan makan bersama tanpa batasan jumlah makanan yang dikonsumsi setiap orang.
Al-Munahadah dalam Sunnah
- Sariyah Al-Khabath (Rajab 8 H): Abu ‘Ubaydah r.a. mengumpulkan makanan yang dimiliki oleh setiap pasukan dan mendistribusikannya, termasuk satu kurma per hari untuk masing-masing pasukan. Lihat Al Bukhariy, Shahih al-Bukhariy , Jilid II (Cet. III; Beirut: Daar Ibn al Katsiir, 1407 H/1987 M), h. 879, bab al-syarikah fi al-tha’am wa al-nihd wa al -‘urudh.
- Perang Tabuk (Rajab 9 H): Umar r.a. mengusulkan agar Rasulullah s.a.w. mengumpulkan sisa bekal pasukan yang kemudian diberkahi dan dibagikan. Lihat Al Bukhariy, Shahih al-Bukhariy , Jilid III (Cet. III; Beirut: Daar Ibn al-Katsir, 1407 H/1987 M), h. 1088.
- Tradisi Al-Asy’ariyyun: Mereka mengumpulkan makanan saat kekurangan dan membaginya secara merata, yang mendapat pujian dari Rasulullah s.a.w. Lihat al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy , Jilid II (Cet. III; Beirut: Daar Ibn al Katsiir, 1407 H/1987 M), h. 880.
Mekanisme al-Munahadah
- Mekanisme Pengumpulan: Tidak ada batasan jumlah atau jenis bekal yang dikumpulkan.
- Mekanisme Distribusi, setidaknya terdapat 2 (dua) model:
- Dibagi rata secara terpisah
- Dikonsumsi bersama tanpa pembatasan jumlah.
Cara A, yaitu dibagikan secara merata tentu lebih sesuai dengan cita rasa keadilan dibandingkan cara B. Namun cara B juga tidak dilarang mengingat:
- Masalah ini bersifat al-muwasah sehingga beberapa aturan yang ketat diperlonggar. Al-muwasah adalah konsep berbagi atau mengurangi beban orang lain dalam situasi tertentu, baik itu melalui harta, makanan, atau lainnya. Untuk itu, perbedaan jumlah makanan yang dimakan tidak menjadi pertimbangan penting.
- Kebutuhan individu terhadap makanan saling berbeda. Prinsip utama dalam praktek al-munahadah adalah menutupi kebutuhan per orang dari suatu kelompok sesuai dengan tingkat kebutuhannya.
Dengan dua alasan ini, maka sebenarnya mekanisme distribusi dapat beragam, alias fleksibel, tidak terbatas pada model A dan B. Mekanisme pengumpulan juga fleksibel, tidak bersifat terbatas pada cara-cara tertentu. Fa al-amr fihi muwasah, karena al-Munahadah bukan bagian dari bab mu’awadhah yang ketat dan bersifat “negosiasi” (mumakasah), setidaknya menurut imam Ahmad.
Prinsip al-Munahadah
- Berbasis tolong-menolong (muwasah).
- Tidak dibatasi kondisi saat safar (perjalanan jauh) atau tidak safar (hadhar)
- Fleksibilitas dalam pengumpulan dan distribusi.
Penerapan al-Munahadah di Pesantren
Setidaknya terdapat 2 (dua) model penerapan al-Munahadah terkait pengelolaan makan bersama para santri di lingkungan Pesantren.
- Kelompok santri yang terdiri dari beberapa orang berpatungan membeli bahan masakan mentah, memasaknya berdasarkan giliran harian, kemudian makan bersama.
Praktik ini sudah amat berkurang di lingkungan pesantren, kecuali pesantren-pesantren tradisional. Penerapan ini tidak memerlukan pengelola. Beberapa orang santri membentuk kelompok. Mereka saling berpatungan membeli alat masak dan bahan masakan mentah Dalam hal ini hubungan antara setiap santri dalam kelompok makan adalah sekedar al-munahadah. Uang dikelola sendiri oleh mereka dan mereka berbagi tugas penggiliran masak, lalu makan bersama-sama dalam satu nampan/baki. Dengan cara ini, kuantitas makanan yang dimakan oleh setiap orang (dalam kelompok masak) tentu tidak sama.
- Pesantren mengelola uang makan santri dan menyajikan makanan kepada seluruh santri.
Pihak pesantren menentukan uang bulanan untuk makan harian para santri dan bertanggungjawab mengelola uang tersebut untuk keperluan upah tukang masak, pembelian bahan bakar, membeli bahan masakan, dan lain-lain yang terkait. Dalam praktik distribusinya, para santri mengambil nasi dan lauk pauk yang disediakan oleh pihak pesantren, memasukkan ke dalam piring masing-masing dengan kadar yang sesuai dengan keinginan mereka. Tentu kadar keinginan per individu mereka berbeda. Umumnya pesantren modern menerapkan cara ini. Penerapan ini membutuhkan pengelola. Artinya di samping ada hubungan al-munahadah antar setiap santri, terdapat pula pola hubungan antara pengelola dan para santri secara kolektif. Hubungan terakhir ini dapat berupa wakalah bi dun al-ujrah, wakalah bi al-ujrah, atau ijarah. Hanya saja, mekanisme ini meniscayakan adanya perwakilan di pihak santri secara kolektif. Keniscayaan ini yang kadang terabaikan, bahkan dalam badan hukum resmi seperti perusahaan asuransi syariah sekalipun.
Apapun model penerapannya, penentuan aturan main (baca: syarat) yang disepakati bersama dalam semua model adalah dibolehkan sepanjang untuk kepentingan dan manfaat mereka, termasuk untuk menghindari konflik.
Pesantren-pesantren di Indonesia adalah benih praktik asuransi syariah di Indonesia yang di kemudian hari menjadi badan hukum dalam bentuknya yang modern seperti perusahaan asuransi syariah. Hanya saja dunia pesantren tidak mengenalnya sebagai asuransi syariah, tetapi “urunan masak” atau “bayar kos makan”.
Terakhir, yang menjadi isykal berikutnya adalah bagaimana jika asatidz, petugas keamanan, dan kebersihan pesantren ikut nimbrung atau mendapatkan jatah makanan ini tanpa ikut berkontribusi membayar layaknya para santri? Jika tidak boleh, apa solusinya?