Dalam buku Sunan Al-Tirmidziy, tercatat bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda,
إنَّ فِي المَالِ لَحَقًّا سِوى الزَّكَاةِ
Sesungguhnya dalam harta, ada kewajiban (lain) selain zakat.
Kemudian beliau s.a.w. melanjutkan dengan menyitir ayat Al-Qur`an berikut:
﴿ لَيْسَ الْبِرَّ اَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْاۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْاۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ ﴾
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah: 177).
Walaupun hadis di atas ―dari sisi Dirayah― memiliki kelemahan dalam sanadnya, namun kandungannya telah diterima dan diperkuat oleh pandangan banyak sahabat Nabi tanpa penolakan dari yang lain.
Di antara yang berpandangan sesuai dengan hadis ini adalah
- Dari kalangan Shahabat : Khalifah Umar bin Khattab, putranya Abdullah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, putranya Hasan, Ummul Mukminin Aisyah, Abu Dzar, Abu Hurairah (semoga Allah meridhai mereka)
- Dari kalangan Tabi’in dan ulama lain: Al-Hasan Al-Basri, Atha’, As-Sha’bi, Mujahid, dan Ibrahim An-Nakha’i رحمهم الله تعالى. Imam An-Nakha’i juga menceritakan banyak ulama masa lalu yang berpandangan bahwa dalam harta terdapat kewajiban (yang harus dikeluarkan oleh pemiliknya) selain kewajiban zakat.” Hal ini juga disebutkan dalam Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaybah.
Makna “Kewajiban Lain Selain Zakat” dalam Hadis
Yang dimaksud dengan “Kewajiban Lain Selain Zakat” dalam hadis ini adalah bahwa kewajiban menanggulangi kemiskinan dan kesulitan yang dihadapi orang lain, yang merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam secara keseluruhan.
Beberapa ulama fiqh menegaskan bahwa kewajiban untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin dan masyarakat yang membutuhkan di sebuah wilayah adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari harta/aset orang-orang kaya, terutama jika zakat, waqaf, sedekah jariyah, kaffarah, dan nadzar tidak mampu atau tidak mencukupi untuk menanggulangi kebutuhan mereka.
Dalam keadaan seperti itu, syariat Islam mewajibkan kepada orang kaya untuk memberikan bantuannya dari harta mereka guna memenuhi kebutuhan dan mengurangi penderitaan mereka.
Nash-nash Lain yang Mendukung Hadis
Terdapat nash-nash yang menegaskan dan memperkuat maksud hadis ini, serta mengingatkan urgensi memenuhi kebutuhan orang miskin, di samping mengingatkan hukuman bagi mereka yang pelit dengan hartanya.
Sebagai catatan, nash-nash berikut secara eksplisit berhubungan bantuan untuk orang miskin, tetapi dengan logika qiyas, nash-nash ini dapat merambah kepada bantuan sosial secara umum. Di antara nash-nash tersebut adalah:
- Sabda Rasulullah s.a.w.
إِنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَى أَغْنِيَاءِ الْمُسْلِمِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ قَدْرَ الَّذِي يَسَعُ فُقَرَاءَهُمْ، وَلَنْ يَجْهَدَ الْفُقَرَاءُ إِذَا جَاعُوْا وَعَرُوْا إِلَّا مِمَّا يَصْنَعُ أَغْنِيَاؤُهُمْ، أَلَا وَإِنَّ اللهَ مُحَاسِبُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِسَابًا شَدِيدًا، وَمُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا نُكْرًا (رواه الطبراني في المعجم الأوسط عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه)
“Sesungguhnya Allah mewajibkan orang kaya di kalangan Muslim untuk menyediakan kadar yang cukup dari harta mereka untuk (kepentingan) orang miskin mereka. Orang miskin tidak akan berusaha (mencegah orang kaya) jika mereka lapar dan telanjang (karena pakaian yang memadai) kecuali akibat perbuatan orang kaya mereka. Ketahuilah, Allah adalah Dzat yang akan meng-hisab mereka dengan hisab yang sangat keras pada hari kiamat, dan Dzat yang akan menyiksa mereka dengan azab yang pedih.”
- Sabda Rasulullah s.a.w.
إِنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ فِي أَمْوَالِهِمْ بِقَدْرِ مَا يَكْفِي فُقَرَاءَهُمْ، فَإِنْ جَاعُوا وَعَرُوا جَهَدُوا فِي مَنْعِ الْأَغْنِيَاءِ، فَحَقٌّ عَلَى اللهِ أَنْ يُحَاسِبَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيُعَذِّبَهُمْ عَلَيْهِ (رواه البيهقي في السنن الكبرى عن محمد بن الحنَفيّة عن علي بن أبي طالب رضي الله عنهم)
“Sesungguhnya Allah mewajibkan orang kaya untuk menyediakan bagian dari harta mereka sesuai dengan kadar yang dapat mencukupi kebutuhan orang miskin mereka. Jika mereka lapar dan telanjang (karena tidak memiliki pakaian yang memadai), mereka berusaha “mencegah” orang kaya, dan Allah pasti akan meng-hisab mereka pada hari kiamat dan menyiksa mereka karena hal itu.”
- Pernyataan al-Hasan dan al-Husayn
بَيْنَا أَبَانُ بْنُ عُثْمَانَ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ جَالِسَانِ إِذْ وَقَفَ عَلَيْهِمَا أَعْرَابِيٌّ فَسَأَلَهُمَا، فَلَمْ يُعْطِيَاهُ شَيْئًا، وَقَالَا: اذْهَبْ إِلَى ذَيْنِكَ الْفَتَيَيْنِ، وَأَشَارَا إِلَى الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمَا وَهُمَا جَالِسَانِ، فَجَاءَ الْأَعْرَابِيُّ حَتَّى وَقَفَ عَلَيْهِمَا فَسَأَلَهُمَا، فَقَالَا: «إِنْ كُنْتَ تَسْأَلُ فِي دَمٍ مُوجِعٍ، أَوْ فَقْرٍ مُدْقِعٍ، أَوْ أَمْرٍ مُفْظِعٍ، فَقَدْ وَجَبَ حَقُّكَ … (رواه ابن أبي الدنيافي مكارم الأخلاق لابن أبي الدنيا عن محمد بن الحنفية رضي الله عنهما عن شيخ من قريش)
“Seorang Quraisy tua bercerita, suatu hari Aban bin Utsman dan Abdullah bin Al-Zubair sedang duduk, lalu seorang badui Arab datang dan meminta bantuan kepada keduanya, namun keduanya tidak memberinya apapun. Keduanya berkata, “Pergilah kepada dua orang anak muda itu,” sambil menunjuk Al-Hasan dan Al-Husain yang sedang duduk. Ketika badui itu datang kepada keduanya, mereka berkata: “Jika engkau meminta dalam kondisi yang sangat mendesak, atau dalam kemiskinan yang parah, dan masalah yang mengerikan maka hakmu menjadi wajib (dipenuhi).”
Pendapat Ulama tentang Kandungan Hadis
Secara prinsip, apa yang disampaikan oleh hadis ini telah diterima oleh semua madrasah pemikiran fiqh Islam. Penulis tulis “secara prinsip” karena perbedaan pendapat mengenai apakah ada kewajiban finansial lain selain zakat adalah perbedaan yang sifatnya lafzhiy (redaksional).
Berikut adalah beberapa pendapat ulama terkait dengan maksud hadis ini:
- Pandangan Sufyan bin ‘Uyaynah
وقد تأول سفيان بن عيينة في المواساة في المسغبة قولَه تعالى: ﴿إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ﴾ [التوبة: 111]، ومعناه: أن المؤمنين يلزمهم القربة في أموالهم لله تعالى عند توجه الحاجة إليهم؛ ولهذا قال كثير من العلماء: إن في المال حقًّا سوى الزكاة، وورد في الترمذي مرفوعًا (العيني الحنفي في عمدة القاري، ج 8، ص 237، دار إحياء التراث العربي)
Sufyan bin ‘Uyainah menafsirkan ayat “Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang mukmin dengan (balasan) surga untuk mereka ” (Q.S. al-Tawbah: 111) sebagai bentuk berbagi dalam kesulitan. Artinya orang-orang yang beriman wajib bersedekah dengan (sebagian) aset kekayaan mereka (karena Allah) saat di antara mereka dihadapkan pada kebutuhan mendesak. Untuk itu, banyak ulama menyatakan bahwa “dalam harta seseorang ada kewajiban lain selain zakat”
.
- Pandangan Abu Bakr bin Al-Arabiy
وَلَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ، وَإِذَا وَقَعَ أَدَاءُ الزَّكَاةِ وَنَزَلَتْ بَعْدَ ذَلِكَ حَاجَةٌ فَإِنَّهُ يَجِبُ صَرْفُ الْمَالِ إِلَيْهَا بِاتِّفَاقِ مِنَ الْعُلَمَاءِ. وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ: يَجِبُ عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِينَ فِدَاءُ أَسْرَاهُمْ، وَإِنِ اسْتَغْرَقَ ذَٰلِكَ أَمْوَالَهُمْ، وَكَذَا إِذَا مَنَعَ الْوَالِيُ الزَّكَاةَ، فَهَلْ يَجِبُ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ إِغْنَاءُ الْفُقَرَاءِ؟ مَسْأَلَةٌ فِيهَا نَظَرٌ، أَصَحُّهَا عِندِي وَجُوبُ ذَٰلِكَ عَلَيْهِمْ. (أبو بكر بن العربي المالكي في أحكام القرآن، ج 1، ص 88، دار الكتب العلمية)
“Tidak ada kewajiban (finansial) lain pada suatu harta selain zakat. Jika zakat telah dibayar dan kemudian muncul kebutuhan setelah itu, maka zakat digunakan untuk menutupi kebutuhan tersebut berdasarkan kesepakatan para ulama. Malik berpendapat, “Wajib bagi seluruh umat muslim untuk membebaskan tawanan mereka, meskipun itu akan menghabiskan seluruh harta mereka.” Demikian pula (dalam kasus) jika pemimpin menahan (tidak menyalurkan) zakat, maka apakah orang kaya diwajibkan mencukupi (kebutuhan) orang miskin? (Jawaban atas kasus) ini adalah masalah ini masih diperdebatkan. Yang benar menurutku adalah bahwa hal itu memang wajib bagi mereka.”
- Pandangan al-Imam Al-Juwayniy
وَلَا أَعْرِفُ خِلَافًا أَنَّ سَدَّ خَلَّاتِ الْمُضْطَرِّينَ فِي شَتَّى الْمَجَاعَاتِ، مَحْتُومٌ عَلَى الْمُوسِرِينَ، ثُمَّ لَا يَرْجِعُونَ عَلَيْهِمْ إِذَا انْسَلُّوا مِنْ تَحْتِ كَلَاكِلِ الْفِتَنِ. وَفُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ بِالْإِضَافَةِ إِلَى مُتَوَسِّلِيهِمْ كَالِابْنِ الْفَقِيرِ فِي حَقِّ أَبِيهِ، لَيْسَ لِلْأَبِ الْمُوسِرِ أَنْ يَلْزَمَ ابْنَهُ الِاسْتِقْرَاضُ مِنْهُ إِلَى أَنْ يَسْتَغْنِيَ يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ، وَلَوْ كَانَ لِوَلَدِهِ مَالٌ غَائِبٌ أَقْرَضَ وَلَدَهُ أَوِ اسْتَقْرَضَ لَهُ إِنْ كَانَ مُوَلِيًّا عَلَيْهِ. وَالَّذِي يَكْشِفُ الْغِطَاءَ فِيهِ أَنَّ مَنْ رَأَى مُسْلِمًا مُشْرِفًا عَلَى حَرِيقٍ أَوْ غَرِيقٍ، وَاحْتَاجَ إِنْقَاذَهُ إِلَى إِنْقَاذِ سَبَبِهِ، وَإِكْدَادِ حَدَبِهِ لَمْ يَجِدَّ فِي مُقَابَلَةِ سَعْيِهِ. (إمام الحرمين الجويني الشافعي في غِيَاثُ الأُمَمِ فِي تِيَاثِ الظُّلْمِ، ص 278،مكتبة إمام الحرمين)
Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa mengatasi kesulitan orang yang membutuhkan dalam berbagai kelaparan adalah wajib bagi orang-orang yang mampu. Dan selanjutnya mereka tidak dapat meminta kembali apa yang sudah mereka berikan saat orang-orang yang mengalami kesulitan tadi berhasil selamat dari cobannya.
Umat Islam yang miskin ibarat anak miskin terhadap ayahnya (yang mampu) dari sisi hak dan kewajiban. Ayah yang berkecukupan tidak berhak memaksa anaknya untuk mengutang kepadanya sampai ia menjadi kaya di suatu hari nanti.
Jika anaknya memiliki kekayaan yang tidak berada di tempatnya saat itu, maka ayahnya boleh mengutangkannya atau mencarikan utang untuknya jika dia adalah orang yang mengatur (keuangannya). Yang memperjelas hal ini adalah bahwa seseorang yang melihat seorang Muslim yang hampir terbakar atau tenggelam, dan membutuhkan penyelamatan dengan usaha yang dia lakukan, maka dia tidak boleh mendapatkan imbalan sebagai kompensasi atas usahanya (menyelamatkan).” - Pandangan Ibnu Taymiyyah
وَأَمَّا الزَّكَاةُ فَإِنَّهَا تَجِبُ حَقًّا لِلَّهِ فِي مَالِهِ. وَلِهَذَا يُقَالُ: لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ أَيْ لَيْسَ فِيهِ حَقٌّ يَجِبُ بِسَبَبِ الْمَالِ سِوَى الزَّكَاةِ وَإِلَّا فَفِيهِ وَاجِبَاتٌ بِغَيْرِ سَبَبِ الْمَالِ كَمَا تَجِبُ النَّفَقَاتُ لِلْأَقَارِبِ وَالزَّوْجَةِ وَالرَّقِيقِ وَالْبَهَائِمِ وَيَجِبُ حَمْلُ الْعَاقِلَةِ وَيَجِبُ قَضَاءُ الدُّيُونِ وَيَجِبُ الْإِعْطَاءُ فِي النَّائِبَةِ وَيَجِبُ إطْعَامُ الْجَائِعِ وَكُسْوَةُ الْعَارِي فَرْضًا عَلَى الْكِفَايَةِ؛ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْوَاجِبَاتِ الْمَالِيَّةِ (ابن تيمية في مجموع الفتاوى، ج 7، ص 316، مجمع الملك فهد)
“Adapun zakat, maka ia adalah kewajiban yang merupakan hak Allah atas harta seseorang. Oleh karena itu, dikatakan, “Tidak ada kewajiban pada harta (seseorang) selain zakat”, maksudnya tidak ada kewajiban finansial akibat kepemilikan suatu harta/aset selain zakat.
Tetapi, ada lagi kewajiban-kewajiban finansial lain yang tidak berhubungan langsung dengan kepemilikan atas harta, seperti kewajiban menafkahi keluarga, istri, hamba, dan hewan ternak. Termasuk kewajiban memberi nafkah kepada keluarga, membayar utang, memberikan bantuan dalam keadaan darurat, memberi makan orang yang lapar, dan memberikan pakaian kepada yang telanjang. Semua ini adalah kewajiban finansial yang harus dipenuhi secara kifayah.”
Tidak Ada Perbedaan Pendapat
Mengamati apa yang dikemukakan Ibn Taymiyyah barusan, rasanya tabir tersingkap bahwa pada prinsipnya tidak ada perbedaan pandangan ulama dalam hal ini mengingat mereka sepakat bahwa hak Allah yang terkait dengan harta (sebagai aset) adalah zakat. Artinya, setelah seseorang membayar zakat asetnya, tidak ada kewajiban lain bagi negara untuk memungut atau meminta bagian dari harta tersebut, kecuali dalam keadaan darurat atau keperluan yang mendesak yang bisa disamakan dengan keadaan darurat. Dalam hal ini, zakat dianggap sebagai kewajiban utama yang harus dipenuhi oleh seorang muslim, dan kewajiban ini bersifat terbatas.
Prinsip ini bertujuan untuk melindungi hak kepemilikan pribadi dan mencegah negara atau pihak berwenang untuk menyalahgunakan kewenangannya dalam mengontrol atau memungut harta masyarakat tanpa alasan yang sah. Dengan demikian, zakat menjadi satu-satunya kewajiban finansial dari segi agama yang terkait langsung dengan harta seseorang, sementara kewajiban finansial lainnya harus didasarkan pada alasan lain (seperti kebutuhan sosial atau darurat).
Pada sisi lain, pandangan 4 (empat) ulama yang dikemukakan di atas bersama ulama lain yang sependapat menekankan pentingnya kewajiban sosial dan solidaritas antar umat muslim, yang lebih luas dari sekadar zakat. Pandangan ini mengemukakan adanya kewajiban menjaga kesejahteraan sosial, dan ini melibatkan kewajiban untuk saling membantu dalam masyarakat. Meskipun seseorang telah membayar zakat, ada kewajiban lebih lanjut untuk membantu mereka yang berada dalam kesulitan atau kemiskinan yang mungkin tidak tercakup sepenuhnya oleh zakat.
Dengan demikian, zakat adalah hak yang melekat pada harta karena sifatnya yang wajib menurut agama. Artinya, zakat bukan hanya sekadar sumbangan sukarela, tetapi pembayaran yang wajib karena keberadaan harta tersebut dan besarannya ditentukan berdasarkan ukuran tertentu.
Sementara itu, berbeda dengan zakat, tuntutan sosial lainnya (seperti adanya kebutuhan mendesak, kepentingan pertolongan pada sesama, atau pembiayaan untuk keperluan sosial) tidak langsung terkait dengan status aset seseorang, melainkan melekat kepada kewajiban sosialnya yang harus dipenuhi berdasarkan peristiwa tertentu. Jadi, ini bukan “kewajiban atas kepemilikan harta”, tetapi kewajiban finansial yang bersifat sosial yang didasarkan pada situasi dan kondisi tertentu.
Justifikasi Pajak
Tulisan ini tidak bermaksud mengarah pada justifikasi pajak dalam arti modern seperti yang kita pahami sekarang, tetapi lebih pada pemahaman bahwa harta yang dimiliki oleh individu memiliki hak-hak tertentu yang harus dipenuhi untuk membantu meringankan beban orang lain, terutama mereka yang membutuhkan, baik di dalam masyarakat muslim maupun non-muslim yang dilindungi.
Inti dari tulisan ini adalah prinsip “kewajiban sosial” dalam harta, yang dapat diterjemahkan dalam konteks Islam sebagai kewajiban untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan, dan ini mencakup lebih dari sekadar zakat.
Dalam beberapa aspek, pajak dalam dunia modern memang bisa disamakan dengan kewajiban sosial yang disebutkan dalam tulisan ini, karena pajak sering digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial, seperti perlindungan kesejahteraan, infrastruktur publik, dan pembiayaan kebutuhan lainnya bagi seluruh warga negara.
Jika pajak modern dimaksudkan untuk membantu kesejahteraan sosial dan menyediakan layanan untuk masyarakat yang tidak mampu dalam arti luas, maka konsep ini bisa dipandang sebagai sebuah kewajiban yang relevan dengan ajaran Islam, dengan beberapa syarat berikut:
- Pajak dipungut saat perbendaharaan negara dalam kondisi tidak mencukupi pemenuhan pelayanan untuk warganya.
- Pajak tidak boleh dikenakan kepada warga negara yang tidak mampu.
- Pajak harus digunakan untuk kepentingan umum secara transparan.
- Pajak harus dihimpun dengan cara yang adil dan tidak menindas.
Dalam hal kewajiban pemenuhan empat syarat ini, Islam tidak main-main saat Nabinya secara eksplisit mengancam bahwa dengan pemungutan semena-mena atas aset warga adalah maks yang pelakunya dibalas dengan neraka.
‘Ala kulli hal, keempat syarat di atas bisa jadi adalah syarat-syarat “bersayap” yang membuka tafsir beragam, baik oleh pengambil kebijakan maupun khususnya warga negara Indonesia yang sering dihadapkan pada fakta terjadinya penyelewengan pajak.
——-
Tulisan ini mengacu kepada artikel di sini dengan tambahan komentar dari pandangan penulis sendiri untuk dua sub judul terakhir.