Salah satu inovasi produk yang menjadi tulang punggung pembiayaan properti syariah modern adalah penggabungan antara akad Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah (IMFZ) dengan skema al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT). Anda dapat menyebutnya Ijarah al-Maushufah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (IMMBT).
Selama ini, akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT) dikaitkan dengan Ijarah aset yang spesifik yang sudah eksis (contoh “rumah ini, bukan rumah itu”). Sejak awal, varian ini memang dibuat khusus untuk aset yang sudah ada di saat akad. Kombinasinya dengan “paket” janji Tamlik tidak menjadi isu Fiqh sama sekali, karena aset yang ingin dialihkan kepemilikannya sudah jelas.
Sementara Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah (IMFZ) dikaitkan dengan aset yang belum ada saat akad dibuat. Varian ini hanya dilakukan dengan menjelaskan kriteria aset yang ingin disewa dari pemilik sewa, tanpa menunjuk aset spesifik yang ini atau yang itu. Mengombinasikan IMFZ dengan “paket” janji Tamlik di depan (yang mengikat) saat akad dibuat menjadi masalah tersendiri dari sisi Fiqh, mengingat Tamlik meniscayakan adanya kepastian aset yang (hendak) dialihkan secara spesifik. Hal ini bertentangan dengan karakteristik IMFZ yang sejak awal memang tidak dikaitkan dengan aset spesifik.
Struktur hibrida ini (IMFZ + Wa’d bi al-Tamlik = IMMBT), meskipun dapat menjawab kebutuhan pasar untuk pembiayaan jangka panjang, tidak lepas dari perdebatan Fiqh yang cukup dalam dan layak mendapatkan perhatiannya tersendiri. Para ulama kontemporer mengkajinya secara saksama untuk memastikan struktur tersebut bebas dari unsur-unsur yang dilarang, khususnya gharar fahisy (ketidakpastian yang fatal).
1. Pandangan Dr. Nazih Hammad: Melarang IMMBT
Salah satu pandangan kritis dan berpengaruh datang dari Dr. Nazih Hammad, seorang ahli Fiqh Mu’amalah terkemuka dari Suriah dan anggota Majma’ al-Fiqh al-Islami Internasional (OKI).
Menurut Nazih Hammad, penggabungan antara akad Ijarah yang objeknya berbasis spesifikasi yang harus dipenuhi oleh pemberi sewa (IMFZ) dengan akad yang bertujuan pemindahan kepemilikan (Tamlik) di akhir periode adalah sebuah struktur yang tidak diperbolehkan (ghayr ja`izah) secara syariah.
Argumen utama beliau berpusat pada keberadaan kontradiksi fundamental antara sifat kedua konsep tersebut:
- Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah (IMFZ) secara esensial terikat pada janji dan pemenuhan (dzimmah) objek yang non-spesifik oleh pemberi sewa, di mana pemberi sewa dapat menyerahkan aset apa pun selama sesuai dengan kriteria.
- Sementara itu, Tamlik (baik melalui jual-beli maupun hibah) secara mutlak menuntut adanya objek yang spesifik dan tertentu (‘ayn mu’ayyanah) sejak awal akad untuk memastikan ketiadaan gharar (ketidakpastian).
Beliau menulis:
إِجَارَةُ الذِّمَّةِ الْمُنْتَهِيَةُ بِالتَّمْلِيكِ غَيْرُ جَائِزَةٍ؛ لِأَنَّ الْمَنْفَعَةَ الْمَعْقُودَ عَلَيْهَا فِيهَا دَيْنٌ مَوْصُوفٌ فِي الذِّمَّةِ، لَا يَتَعَلَّقُ بِذَاتٍ مُعَيَّنَةٍ، بَلْ بِذِمَّةِ الْمُؤَجِّرِ، وَمُقْتَضَى ذَلِكَ أَنَّهُ يَسَعُهُ الْوَفَاءُ بِالْتِزَامِهِ بِتَقْدِيمِ أَيَّةِ عَيْنٍ تَحْتَوِي عَلَى الْمَنْفَعَةِ الْمَوْصُوفَةِ فِي ذِمَّتِهِ لِيَسْتَوْفِيَهَا الْمُسْتَأْجِرُ دُونَ أَنْ يَكُونَ لَهُ الْحَقُّ فِي رَدِّ الْعَيْنِ أَوِ الْمُطَالَبَةِ بِغَيْرِهَا مَا دَامَتْ مُتَضَمِّنَةً لِتِلْكَ الْمَنْفَعَةِ الْمِثْلِيَّةِ الْمَعْقُودِ عَلَيْهَا، وَهَذَا يَقْتَضِي جَهَالَةَ الْعَيْنِ الَّتِي يُجْزِئُ الْمُؤَجِّرُ تَقْدِيمَهَا لِلْمُسْتَأْجِرِ ثُمَّ تَمْلِيكَهَا لَهُ عَقِبَ انْتِهَاءِ مُدَّةِ الْإِجَارَةِ، وَتِلْكَ جَهَالَةٌ فَاحِشَةٌ مُفْضِيَةٌ إِلَى خُصُومَةٍ وَنِزَاعٍ بَيْنَ الْعَاقِدَيْنِ، لَا سَبِيلَ إِلَى دَفْعِهِمَا أَوِ التَّحَرُّزِ عَنْهُمَا، وَمُوجِبَةٌ لِفَسَادِ الْإِجَارَةِ الْمُنْتَهِيَةِ بِالتَّمْلِيكِ إِذَا كَانَتْ إِجَارَةَ ذِمَّةٍ. (فِقْهُ الْمُعَامَلَاتِ الْمَالِيَّةِ وَالْمَصْرِفِيَّةِ الْمُعَاصِرَةِ: قِرَاءَةٌ جَدِيدَةٌ، نَزِيه حَمَّاد، دَارُ الْبَشِيرِ، جدّة، ط ١، ٢٠٠٧، ص ٣٤٤)
Apa yang beliau kemukakan di atas dapat dijelaskan bahwa skema Ijarah yang berakhir dengan perpindahan kepemilikan (al-Muntahiyah bi al-Tamlik) tidak diperbolehkan jika akad Ijarah yang mendasarinya adalah sewa berbasis al-Dzimmah atau al-Maushufah. Alasannya, dalam skema ini, terjadi ketidakpastian fatal (gharar fahisy) mengenai aset yang pada akhirnya akan dialihkan kepemilikannya.
Secara sistematis, alasan pelarangan ini dapat dirinci sebagai berikut:
- Sewa Melekat pada Janji, Bukan Aset Fisik
Manfaat yang disewakan dalam akad ini pada dasarnya adalah sebuah dayn (kewajiban yang harus dipenuhi) atau kewajiban yang ada dalam tanggung jawab (dzimmah) si pemberi sewa tanpa merujuk kepada objek sewa yang spesifik “yang ini, bukan yang itu”. Akadnya tidak terikat pada satu aset fisik tertentu, melainkan pada janji pemberi sewa untuk menyediakan sebuah aset dengan spesifikasi yang telah disepakati.
- Pemberi Sewa Boleh Memberi Aset Mana Saja
Konsekuensinya, pemberi sewa dapat memenuhi janjinya dengan menyerahkan aset apa pun, selama aset tersebut sesuai dengan deskripsi dan spesifikasi yang ada di dalam kontrak.
- Penyewa Tidak Bisa Menolak
Penyewa tidak memiliki hak untuk menolak aset yang diserahkan atau meminta aset lain, selama aset tersebut sudah memenuhi spesifikasi yang telah disepakati.
- Timbulnya Ketidakpastian Fatal (gharar fahisy)
Menambahkan janji Tamlik di depan pada akad ini menimbulkan ketidakpastian (jahalah) mengenai aset spesifik mana yang nantinya akan diserahkan kepada penyewa di akhir periode, yang akan dialihkan kepemilikannya. Dengan ungkapan lain, aset mana yang akan menjadi milik penyewa? Apakah aset A, B, atau C (di mana semuanya sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati)?
- Potensi Sengketa yang Tak Terhindarkan
Ketidakpastian mengenai objek yang akan dimiliki di masa depan ini adalah gharar fatal (fahisy). Hal ini hampir pasti akan memicu perselisihan dan sengketa (khushumah wa niza’) di antara kedua belah pihak, sebuah konflik yang selalu ingin dihindari oleh Syariah.
Kelima hal ini menyebabkan “kerusakan” (fasad) akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik jika fondasinya adalah Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah.
Mengikuti alur argumen ini hingga ke kesimpulan akhirnya, struktur Maushufah yang dikombinasikan sejak awal dengan janji Tamlik yang mengikat―secara fundamental―tidak dapat didamaikan (irreconcilable/dua hal yang tidak bisa berjalan bersama karena saling bertentangan). Sifat fleksibel dari Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah (di mana aset bisa diganti) akan selalu berbenturan dengan sifat kaku dari Tamlik (di mana aset harus spesifik dan tidak tergantikan). Menurut pandangan ini, satu-satunya cara yang benar-benar bersih dari gharar adalah tidak membuat janji (wa’d) Tamlik yang mengikat sama sekali di depan. Transaksi Tamlik hanya boleh dinegosiasikan secara sukarela dan terpisah setelah akad Ijarah selesai sepenuhnya, tanpa janji Tamlik di saat akad Ijarah dibuat.
2. Pandangan Abdurrahman bin Abdullah al-Sa’di: Membolehkan IMMBT
Dr. Abdurrahman bin Abdullah al-Sa’di mengemukan pandangannya yang berbeda dengan Dr. Nazih Hammad―dalam disertasi doktoralnya (Ijarah al-Maushuf fi al-Dzimmah wa Tathbiqatuha al-Mu’ashirah) yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dan terpilih untuk menjadi publikasi seri ke-17 yang diterbitkan oleh Grup Syariah Bank Albilad (salah satu bank syariah terkemuka di Arab Saudi) pada tahun 2018.
Setelah menyinggung pandangan Nazih Hammad, beliau menulis,
وَالَّذِي يَظْهَرُ لِلْبَاحِثِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ – جَوَازُ وُقُوعِ إِجَارَةِ الْمَوْصُوفِ فِي الذِّمَّةِ إِجَارَةً مُنْتَهِيَةً بِالتَّمْلِيكِ بِحُكْمِ الِاخْتِصَاصِ؛ فَإِنَّ الْمُسْتَأْجِرَ إِذَا اسْتَلَمَ الْعَيْنَ صَارَتْ مُخْتَصَّةً بِهِ، وَثَبَتَ لَهُ حَقُّ الِاخْتِصَاصِ دُونَ غَيْرِهِ.(إجارة الموصوف في الذمة وتطبيقاتها المعاصرة، عبد الرحمن بن عبد الله االسعدي، دار المَيْمان، الرياض، الطبعة الأولى، ، 1439 هـ / 2018 م ، ص 371)
فَإِنْ قِيلَ: لَكِنِ الْعَيْنُ لَوْ تَلِفَتْ يَلْزَمُ الْمُؤَجِّرَ أَنْ يَأْتِيَ بِأُخْرَى مَكَانَهَا، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْقُودَ عَلَيْهِ دَيْنٌ فِي ذِمَّةِ الْمُؤَجِّرِ؟
فَالْجَوَابُ: أَنَّهُ يَثْبُتُ لَهُ الِاخْتِصَاصُ بِهَذِهِ الْعَيْنِ كَمَا سَبَقَ، وَفِي حَالِ لَوْ تَلِفَتِ الْعَيْنُ فَإِنَّ الْمُؤَجِّرَ سَيُعَوِّضُهُ بِعَيْنٍ أُخْرَى مَكَانَهَا، فَيَثْبُتُ لِلْمُسْتَأْجِرِ حَقُّ الِاخْتِصَاصِ بِهَذِهِ الْعَيْنِ الثَّانِيَةِ، وَتَجْرِي عَلَيْهَا أَحْكَامُ الْوَعْدِ بِالتَّمْلِيكِ.(إجارة الموصوف في الذمة وتطبيقاتها المعاصرة، عبد الرحمن بن عبد الله السّعديّ، ص 372)
Berdasarkan apa yanag dikemukakannya di sini, dipahami bahwa:
- Penggabungan akad Ijarah al-Maushufah dengan skema Muntahiyah bi al-Tamlik adalah diperbolehkan.
- Kebolehan ini didasarkan pada adanya sebuah konsep kunci, yaitu Haqq al-Ikhtishash (Hak Eksklusif). Hak ini timbul bagi penyewa tepat pada saat ia menerima aset sewa, yang menjadikan aset tersebut spesifik dan khusus baginya, tidak untuk orang/pihak lain. Dalam hal ini, Haqq al-Ikhtishash layaknya “jangkar” atau objek stabil bagi janji pemindahan kepemilikan (wa’d bi al-tamlik), bukan wujud fisik aset itu sendiri. Karena penyewa kini memiliki hak legal yang spesifik atas aset yang ia gunakan, maka aset tersebut dianggap cukup pasti untuk menjadi subjek dari janji Tamlik.
- Pandangan al-Sa’di juga secara langsung menjawab keraguan (paradoks) yang timbul jika aset objek sewa rusak. Beliau menegaskan bahwa jika aset pertama rusak, pemberi sewa memang wajib menyediakan pengganti dengan aset lain yang sesuai kriteria, tetapi Haqq al-Ikhtishash juga ikut berpindah ke aset pengganti karena janji (wa’d) itu melekat pada Haqq al-Ikhtishash, bukan pada objek sewa. Ini secara efektif memberikan justifikasi Fiqh untuk apa yang bisa disebut sebagai “janji adaptif”.
- Poin terpenting dari argumen ini adalah, ketika aset pengganti (aset kedua) diserahkan, maka Haqq al-Ikhtishash milik penyewa berpindah ke aset pengganti tersebut. Sebagai konsekuensinya, aturan-aturan mengenai janji pemindahan kepemilikan (wa’d bi al-Tamlik) pun ikut beralih dan berlaku pada aset pengganti yang baru.
Pandangan ini menyajikan sebuah pendekatan dan kerangka berpikir (takyif fiqhi) yang berbeda secara fundamental dari pandangan Nazih Hammad yang menidakmungkinkan janji Tamlik mengikat di depan karena obyek sewa dalam Ijarah al-Maushufah tidak spesifik (ghayr mu’ayyanah).
Untuk mendukung pendapatnya tentang “kemunculan” Haqq al-Ikhtishash bagi penyewa dalam al-Maushufah saat obyek sewa diterima oleh penyewa, al-Sa’di mengutip pendapat al-Nawawi (w. 676 H) berikut:
وَإِنْ كَانَتِ الْإِجَارَةُ عَلَى الذِّمَّةِ، وَسَلَّمَ دَابَّةً وَتَلِفَتْ، لَمْ يَنْفَسِخْ الْعَقْدُ. وَإِنْ وَجَدَ بِهَا عَيْبًا، لَمْ يَكُنْ لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْعَقْدِ، وَلَكِنْ عَلَى الْمُؤَجِّرِ إِبْدَالُهَا. ثُمَّ الدَّابَّةُ الْمُسَلَّمَةُ عَنِ الْإِجَارَةِ فِي الذِّمَّةِ وَإِنْ لَمْ يَنْفَسِخِ الْعَقْدُ بِتَلَفِهَا، فَإِنَّهُ ثَبَتَ لِلْمُسْتَأْجِرِ فِيهَا حَقُّ الِاخْتِصَاصِ، حَتَّى يَجُوزَ لَهُ إِجَارَتُهَا (روضة الطالبين وعمدة المفتين، يحيى بن شرف النووي [ت 676 هـ]، المكتب الإسلامي، بيروت، الطبعة: الثالثة، 1412 هـ / 1991 م ، ج 5، ص 223)
“Apabila akad Ijarah (sewa) dilakukan atas tanggungan (dzimmah), lalu pihak penyewa menerima hewan tunggangan (sebagai objek sewa) dan hewan itu kemudian rusak (baca: cacat) atau mati, maka akad sewa tersebut tidak otomatis batal (faskh).
Jika ternyata hewan itu memiliki cacat, penyewa tidak memiliki hak untuk mem-faskh akad, sebaliknya pihak pemberi sewa (pemilik) wajib menggantinya dengan hewan lain yang sesuai.
Selanjutnya, hewan yang telah diserahkan dalam akad Ijarah fi al-dzimmah itu, meskipun akadnya tidak batal karena kerusakannya (atau kematiannya, penj), tetap memberikan kepada penyewa Haqq al-Ikhtishash (hak eksklusif untuk memanfaatkannya). Oleh karenanya, penyewa diperbolehkan untuk menyewakan (lagi) hewan tersebut kepada orang lain.”
Haqq al-Ikhtishash menjadi kunci jawaban penting untuk membela pendapatnya. Dengan “cantolan” ini lalu al-Sa’di mendefinisikan al-Maushufah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (“IMMBT“) sebagai berikut:
إِجَارَةُ الْمَوْصُوفِ فِي الذِّمَّةِ إِجَارَةً مُنْتَهِيَةً بِالـتَّمْلِيكِ هِيَ عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةِ عَيْنٍ مَوْصُوفَةٍ فِي الذِّمَّةِ، مُدَّةً مَعْلُومَةً، بِأُجْرَةٍ مَعْلُومَةٍ، مُقَسَّطَةٍ، تَئُولُ إِلَى تَمَلُّكِ تِلْكَ الْعَيْنِ بِحُكْمِ الِاخْتِصَاصِ لِلْمُسْتَأْجِرِ بِعَقْدٍ جَدِيدٍ، بِنَاءً عَلَى وَعْدٍ سَابِقٍ.
(إجارة الموصوف في الذمة وتطبيقاتها المعاصرة، عبد الرحمن بن عبد الله السّعديّ، ص 363)
Ijarah al-Maushuf fi al-Dzimmah yang berakhir dengan kepemilikan (muntahiyah bi al-tamlik) adalah suatu akad atas manfaat dari suatu barang yang ditentukan sifat-sifatnya (yang harus dipenuhi) dalam tanggungan (pemberi sewa), untuk jangka waktu tertentu, dengan ujrah yang telah ditetapkan dan dibayar secara bertahap, di mana akad tersebut berujung pada kepemilikan barang itu oleh penyewa atas dasar hak eksklusif (Haqq al-Ikhtishash), melalui akad baru (di kemudian hari, penj) yang didasarkan pada janji (pengalihan kepemilikan) sebelumnya.
Apa itu Haqq al-Ikhtishash?
Sebuah kajian khusus tentang Ikhtishash menjelaskan,
الِاخْتِصَاصُ (بمعناه الخاصّ، ويطلق على الاختصاص الانتفاعي) هُوَ عِبَارَةٌ عَمَّا يَخْتَصُّ مُسْتَحِقُّهُ بِالِانْتِفَاعِ بِهِ، وَلَا يَمْلِكُ أَحَدٌ مُزَاحَمَتَهُ فِيهِ، وَهُوَ غَيْرُ قَابِلٍ لِلشُّمُولِ وَالْمُعَاوَضَاتِ.
وَالْمَقْصُودُ بِقَوْلِهِمْ “غَيْرُ قَابِلٍ لِلشُّمُولِ”: أَيْ لَا يَشْمَلُ جَمِيعَ أَشْكَالِ الِانْتِفَاعِ، وَمَعْنَى “غَيْرُ قَابِلٍ لِلْمُعَاوَضَاتِ” أَيْ لَا يَدْخُلُ بَدَلًا فِي الْمُعَاوَضَاتِ الْمَحْضَةِ وَغَيْرِ الْمَحْضَةِ كَالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ وَالنِّكَاحِ وَالصَّدَاقِ.
(الاختصاص عند الشافعية وأثره على العقود والمعاملات: دراسة تأصيلية تطبيقية، قيس حسن عبد الرحمن باحميد، منال عبد اللطيف البابلي، خالد علي الفروخ، دراسات: علوم الشريعة والقانون، المجلد 50، عدد 2، 2023، ص 108)
Secara sederhana, Haqq al-Ikhtishash adalah hak eksklusif. Ini adalah level hak yang lebih rendah dari hak “milik penuh” (al-milk). Pemilik Haqq al-Ikhtishash tidak “memiliki” fisik bendanya, tetapi memiliki hak eksklusif yang dilindungi oleh Syariah untuk menggunakan dan mengambil manfaat dari benda tersebut, dan orang lain tidak boleh mengganggu hak ini.
Karakteristik Utama Haqq Al-Ikhtishash
Berdasarkan kutipan di atas terdapat dua sifat yang melekat pada Haqq al-Ikhtishash:
- Tidak Mencakup Segalanya (Ghair Qabil li asy-Syumul)
Haqq al-Ikhtishash terbatas hanya pada tujuan atau bentuk pemanfaatan tertentu saja, tidak seperti hak milik penuh yang memberikan pemiliknya kebebasan untuk melakukan apa saja terhadap aset.
- Tidak Dapat Menjadi Objek Kompensasi (Ghair Qabil li al-Mu’awadhat)
Ini adalah konsekuensi sifat yang disebut di nomor 1, bahwa Haqq al-Ikhtishash hanyalah hak guna (tertentu), ia tidak memiliki nilai jual (market value) yang bisa diperdagangkan dalam bentuk mu’awadhah murni (seperti akad jual-beli) atau mu’awadhah tidak murni (seperti akad pernikahan, sebagai mahar).
Contoh Haqq al-Ikhtishash
Untuk memahami konsep Haqq al-Ikhtishash dalam konteks nyata, berikut ini salah satu contoh sederhana. Bayangkan pihak Kelurahan memfasilitasi pasar malam untuk UMKM di wilayahnya dengan menyediakan halaman kelurahan dan membagi-bagi area halaman ke dalam unit-unit lapak berukuran 2×2 meter. Seorang pengusaha UMKM bernama A kemudian mendapatkan hak untuk menempati Lapak Nomor 1.
Hak yang dimiliki A atas lapak ini adalah Haqq al-Ikhtishash, yang dapat dilihat melalui tiga karakteristik utamanya, yaitu:
- Hak Guna Eksklusif
Hak A atas Lapak Nomor 1 bersifat eksklusif. Selama pasar malam berlangsung, tidak ada pihak lain—baik pedagang lain maupun pihak kelurahan—yang berhak mengganggu atau menempati area tersebut. Haknya untuk mengambil manfaat (intifa’) dari lapak itu dilindungi, sesuai dengan definisi Haqq al-Ikhtishash.
- Lingkup yang Terbatas (Ghayr Qabil li al-Syumul)
Hak eksklusif A tidak bersifat absolut layaknya hak milik. Hak tersebut terbatas pada tujuan yang telah ditentukan, yaitu berdagang selama jam operasional pasar malam. A tidak berhak, misalnya, mengubah lapak menjadi tempat tinggal atau merenovasi fondasinya. Ini menunjukkan bahwa haknya tidak mencakup semua bentuk pemanfaatan (la yasyhmalu jami’a asykal al-intifa’).
- Bukan Objek Pertukaran Komersial (Ghayr Qabil li al-Mu’awadhat)
Haqq al-Ikhtishash yang dimiliki A tidak bisa diperlakukan sebagai komoditas. A tidak bisa membuat akad jual-beli (bay’) untuk menjual hak eksklusifnya atas lapak tersebut, ataupun menjadikannya sebagai mahar (shadaq) pernikahan. Hal ini karena hak tersebut bukan aset fisik (‘ayn) yang bisa dialihkan kepemilikannya (dengan skema mu’awadhat), melainkan hak guna personal. Satu-satunya transaksi yang dimungkinkan (tergantung izin) adalah menyewakan kembali manfaatnya melalui akad sewa (Ijarah) baru, bukan menjual haknya.
Meskipun Haqq al-Ikhtishash tidak dapat dialihkan kepemilikannya melalui akad pertukaran formal (‘uqud al-mu’awadhat), para ulama Fiqh klasik secara umum telah memperkenalkan konsep seperti raf’ atau naql al-yad ‘an al-ikhtishash (pelepasan kuasa) atau tanazul ‘an al-haqq (pelepasan hak) sebagai alternatif solutif. Mekanisme ini secara efektif membuka kemungkinan untuk memindahtangankan Haqq al-Ikhtishash kepada pihak lain, baik dengan kompensasi maupun secara gratis. Namun detail penerapannya sering kali menjadi subjek perbedaan pandangan di kalangan ulama tergantung pada konteks kasusnya. Oleh karena itu, kajian mendalam mengenai konsep ini menjadi sangat relevan dan urgen, mengingat potensinya untuk memberikan solusi syariah yang otentik terhadap berbagai kasus muamalah di era modern, seperti, sekedar menyebut contoh, pengalihan lisensi, bursa karbon, dan isu-isu baru lain.
3. Contoh Draf Janji (Wa’d) Pemindahan Kepemilikan dalam Akad IMMBT
Dengan asumsi mengikuti pandangan al-Sa’di, klausul-klausul yang perlu dideklarasikan terkait Janji Tamlik dalam Akad Ijarah al-Maushufah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (IMMBT), di antaranya adalah sebagai berikut:
Dokumen Janji Pemindahan Kepemilikan (Wa’d bi al-Tamlik) Berdasarkan Akad Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah No. 123/IMBT/X/2025 (“Akad Ijarah“), Pihak Pemberi Sewa dengan ini membuat janji sepihak yang mengikat (wa’d mulzim) sebagai berikut: |
|
Pasal 1: Objek Janji |
Pemberi Sewa berjanji untuk menghibahkan [atau: menjual] kepada Penyewa, sebuah aset properti yang memenuhi ketentuan berikut: Yaitu aset fisik yang padanya telah melekat dan terbukti Hak Eksklusif (Haqq al-Ikhtishash) milik Penyewa, yang diserahkan oleh Pemberi Sewa untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam Akad Ijarah. |
Pasal 2: Sifat Janji |
|
Pasal 3: Syarat Pelaksanaan Janji |
Janji ini akan dieksekusi melalui sebuah akad hibah [atau: jual-beli] yang baru dan terpisah setelah:
|
Penutup
Kajian mengenai kombinasi Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dengan fitur Muntahiyah bi al-Tamlik menjadi Ijarah al-Maushufah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (IMMBT) membawa para pengkaji ke dalam perdebatan Fiqh muamalah kontemporer: sebuah pertarungan antara tuntutan kepastian hukum dan kebutuhan transaksi modern.
Kita telah melihat bagaimana satu pandangan yang kritis, sebagaimana diwakili oleh Dr. Nazih Hammad, berpegang teguh pada prinsip yang disepakati oleh seluruh ulama bahwa Tamlik (pemindahan kepemilikan) menuntut adanya objek yang spesifik, sehingga beliau menilai struktur hibrida/kombinasi ini mengandung gharar (ketidakpastian) yang fatal. Di sisi lain, kita menyaksikan lahirnya sebuah ijtihad yang mencoba memberikan solusi, sebagaimana diartikulasikan oleh Dr. Abdurrahman al-Sa’di, bahwa Haqq al-Ikhtishash dapat dijadikan jawaban yang “dapat membuat” objek sewa IMFZ menjadi spesifik, atau setidaknya semi spesifik, sehingga janji Tamlik di depan memungkinkan.
Konsep Haqq al-Ikhtishash (Hak Eksklusif) merupakan “cantolan” pandangan al-Sa’di. Konsep yang berakar dari khazanah Fiqh klasik ini berfungsi sebagai “jangkar hukum” yang memungkinkan janji (wa’d) pemindahan kepemilikan untuk tetap valid, meskipun aset fisik yang mendasarinya berpotensi untuk berubah.
Dari kajian ini juga kita bisa memahami lebih jauh landasan fatwa DSN-MUI Nomor 102/DSN-MUI/X/2016 tentang Akad Al-Ijarah Al-Maushufah fi Al-Dzimmah untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)-Indent.
Pada akhirnya, kajian ini menegaskan bahwa setiap inovasi produk dalam keuangan syariah harus diuji secara ketat berdasarkan prinsip-prinsip dasar syariat, seperti kejelasan (termasuk kejelasan struktur akad), keadilan, dan ketiadaan gharar, termasuk pertimbangan keselarasan dari sisi al-handasah.
Diskursus mendalam seputar Haqq al-Ikhtishash dalam kajian ini menjadi contoh bagaimana rekayasa kontrak syariah (sharia contract engineering/al-handasah al-fiqhiyyah) yang cermat mampu menghasilkan solusi inovatif yang tidak hanya menjawab kebutuhan pasar, tetapi juga tetap kokoh berdiri di atas pandangan yang otentik, dapat diuji (challengeable), dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukan sekadar bersandar pada argumen pragmatis.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ