Hadis Nabi Muhammad saw. yang menganjurkan untuk tetap menanam bibit pohon meskipun kiamat tiba merupakan salah satu teks hadis yang sarat makna filosofis dan etis. Untuk memudahkan penyebutan dan penyederhanaan, selanjutnya penulis menyebutnya dengan “hadis fasilah“. Kata fasilah dalam hadis yang akan disebut di bawah adalah anak/bibit pohon kurma—yakni tunas kecil yang baru tumbuh dari induknya. Dalam konteks pertanian Arab, fasilah adalah pohon kurma muda yang memiliki potensi hidup dan berkembang di masa depan.
Redaksi Hadis Fasilah
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dan al-Bazzar, dari Anas bin Malik ra. dengan redaksi yang beragam,
- Hadis Riwayat al-Bukhariy
عن أنس بن مالك، عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا (رواه البخاري في الأدب المفرد، ص: 168)
Dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw. Beliau bersabda, “Jika Kiamat tiba, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma kecil, maka jika ia mampu untuk menanamnya sebelum Kiamat terjadi, hendaklah ia menanamnya.
- Hadis Riwayat Ahmad
عَنْ أَنَسٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا، فَلْيَفْعَلْ. (رَوَاهُ أَحْمَدُ في مُسْنَدِهِ، ج 20، ص 296، الرسالة)
Dari Anas ra., Rasulullah saw. bersabda, “Jika Kiamat tiba, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma kecil, maka jika ia mampu untuk tidak beranjak hingga menanamnya, hendaklah ia melakukannya.
- Hadis Riwayat Ahmad dan al-Bazzar
عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَلْيَغْرِسْهَا. (رَوَاهُ َحْمَدُ في مُسْنَدِهِ، ج 20، ص 251، الرسالة وَالْبَزَّارُ في مسندِهِ أو البحر الزخَّار، ج 14، ص 17، مكتبة العلوم والحكم)
Dari Anas ra., bahwa Nabi saw. bersabda, “Jika Kiamat tiba, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma kecil, maka hendaklah ia menanamnya.
Validitas Hadis Fasilah
Hadis riwayat Ahmad (nomor 2 di atas) adalah shahih sesuai kriteria Muslim, demikian juga yang riwayat al-Bukhariy (nomor 1). Hal yang sama untuk riwayat al-Bazzar berdasarkan penilaian al-Bazzar sendiri dalam Musnad-nya. (Lihat penilaian Syu’ayb al-Arna`uthiyy (1346- 1438 H) yang disertakan dalam catatan kaki Musnad Ahmad terbitan Mu`assasah al-Risalah dan penilaian al-Bazzar (210-292 H) dalam Musnad-nya)
Perbedaan Redaksi Hadis Fasilah
Ada perbedaan bentuk kata dalam dua redaksi hadis yang pertama. Di hadis nomor 1, menggunakan kata taqum, sedangkan hadis nomor 2 di atas menggunakan kata yaqum. Sedangkan hadis nomor 3 tidak menyebutnya sama sekali, sehingga lebih ringkas.
Untuk hadis nomor 2 yang menggunakan kata yaqum, al-Munawiy memberikan tafsirnya. Beliau menulis
… فإن اسْتَطَاعَ أَن لَا يقوم من مَكَانِهِ …
“… Jika dia mampu tidak beranjak dari tempatnya hingga menanamnya … ”
Makna Hadis Fasilah
Salah satu hal disinggung oleh para ulama dalam hadis ini adalah mengenai apa maksud kalimat “kiamat tiba”. Al-Munawiy (952-1031 H) menulis,
قَدْ خَفِيَ مَعْنَى هٰذَا الْحَدِيثِ عَلَى أَئِمَّةٍ أَعْلَامٍ، مِنْهُمْ ابْنُ بَزِيزَةَ، فَقَالَ: اَللَّهُ أَعْلَمُ مَا الْحِكْمَةُ فِي ذٰلِكَ. اِنْتَهَى. قَالَ الْهَيْثَمِيُّ: وَلَعَلَّهُ أَرَادَ بِقِيَامِ السَّاعَةِ أَمَارَتَهَا، فَإِنَّهُ قَدْ وَرَدَ: «إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ بِالدَّجَّالِ، وَفِي يَدِهِ فَسِيلَةٌ، فَلْيَغْرِسْهَا، فَإِنَّ لِلنَّاسِ عَيْشًا بَعْدُ (فيض القدير شرح الجامع الصغير للمناويّ, ج 3، ص 30، المكتبة التجارية الكبرى)
Makna hadis ini tidak jelas bagi beberapa tokoh ulama, di antaranya Ibn Bazizah (606-662 H). Ia berkata, “Wallahu a’lam mengenai apa hikmah dalam hal itu (maksudnya: hikmah menanam di saat kiamat terjadi.”
(Namun) Al-Haytsamiy (Nur al-Din, 735-807 H) berkata, “Mungkin yang dimaksud dengan ‘terjadinya Kiamat’ adalah tanda-tandanya, karena dalam hadis lain disebutkan, “Apabila salah seorang dari kalian mendengar tentang (kemunculan) Dajjal, sementara di tangannya ada bibit kurma kecil, maka hendaklah ia menanamnya, karena sesungguhnya manusia masih akan hidup setelah itu.”
Dari keterangan al-Munawiy, dipahami ada Ibnu Bazizah yang memaknai kalimat “kiamat tiba” secara literal dan sehubungan dengan hikmah hadisnya, beliau berkata, “Wallahu a’lam”. Ada juga al-Haytsamiy yang menafsirkan kalimat “kiamat tiba” dengan “tanda-tanda kiamat tiba/terjadi”.
Dengan demikian, maka kata ”kiamat” dalam kalimat “kiamat tiba” terbuka kemungkinan dimaknai dalam 2 (dua) makna, yaitu:
- Kiamat secara literal (jika dibaca secara ekstrem).
- Tanda-tanda kiamat (jika dibaca secara kontekstual dan realistis).
Terjemah Hadis Secara Literal dan Kontekstual
Terjemah literal berarti membaca teks sesuai dengan arti kata-kata secara langsung, tanpa tafsir tambahan. Sedangkan kontekstual berarti membaca teks dengan tafsir tambahan. Mengambil hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy (dalam al-adab al-Mufrad), dengan mengacu kepada dua model terjemahan tersebut, hadis ini dapat diterjemahkan sebagai berikut:
- Terjemah Literal Ekstrem
“Jika Kiamat telah tiba, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma kecil, maka jika ia mampu untuk menanamnya sebelum Kiamat terjadi (baca: menghancurkan secara total), hendaklah ia menanamnya.”
- Terjemah kontekstual realistis
“Jika tanda-tanda Kiamat telah tiba, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma kecil, maka jika ia mampu untuk menanamnya sebelum Kiamat (benar-benar) terjadi terjadi, hendaklah ia menanamnya.”
Makna Teologis atau Filosofis Hadis Fasilah
Terlepas dari pemahaman hadis secara literal atau kontekstual, ada pesan teologis moral yang hendak disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Pesan ini, meski bersifat tidak wajib, menjadi bagian dari ajaran Islam.
Hadis ini bisa jadi dinilai sebagai absurd. Bahkan bisa dianggap tidak relevan. Karena secara naluriah, manusia akan memilih menyelamatkan diri, bukan menanam pohon. Manfaat “melarikan diri saat bencana” hasilnya jelas/riil. Sedangkan “menanam benih” di saat bencana justru aneh. Tidak heran jika al-Bazizah mengatakan wallahu a’lam dengan hikmah di balik anjuran menanam bibit di saat kiamat sedang terjadi.
Bicara ego manusia, apalagi dalam kondisi ekstrem, yang muncul biasanya bukan semangat amal dan berbuat kebaikan, tapi survival instinct. Survival instinct adalah istilah dalam psikologi dan biologi yang merujuk pada naluri dasar makhluk hidup untuk mempertahankan hidupnya. Ia bukan hasil pemikiran rasional, melainkan dorongan otomatis yang muncul saat seseorang menghadapi ancaman, bahaya, atau kondisi ekstrem.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin seseorang bisa tenang dan memilih menanam? Di sini kita bisa masuk lebih dalam, bukan untuk membenarkan hadis secara dogmatis, tapi untuk menguji maknanya secara eksistensial dan filosofis.
Hadis ini tidak sedang bicara tentang reaksi spontan manusia biasa. Ia bukan deskripsi etis tentang manusia pada saat kiamat terjadi, tapi preskripsi etis. Ia tidak mengatakan “manusia pasti akan menanam saat kiamat”, tetapi “jika manusia berada dalam kondisi itu, tetap menanamlah.”
Dalam filsafat moral, sering dibedakan antara deskripsi etis dan preskripsi etis:
- Deskripsi etis: Menjelaskan bagaimana manusia sebenarnya bertindak secara moral. Ini bersifat empiris dan pengamatan.
- Preskripsi etis: Menyatakan bagaimana manusia seharusnya bertindak secara moral. Ini bersifat normatif dan ideal.
Jadi, ketika kita menyebut hadis fasilah sebagai preskripsi etis, kita sedang mengatakan bahwa ia bukan menggambarkan bagaimana perilaku manusia saat kiamat, melainkan menawarkan standar moral yang ideal, meski mungkin tidak realistis secara psikologis.
Hadis ini tentu terasa asing. Ia tidak memuaskan naluri manusia. Ia tidak menawarkan pelarian. Ia menawarkan satu hal: konsistensi amal dan berbuat baik, bahkan ketika dunia tidak lagi memberi ruang untuk hasil. Ini bukan soal logika manusia biasa, tapi soal logika spiritual yang tidak tunduk pada kalkulasi duniawi.
Bila ditarik ke bawah lebih jauh, ini adalah teologi moral Islam. Banyak ajaran Islam bersifat preskriptif, seperti hadis ini—menanam meski (mungkin) tidak ada hasil nyata.
Di antara contoh lain ajaran Islam yang bersifat preskriptif etis, merujuk kepada sumber-sumber Islam sendiri adalah:
- Memberi Maaf kepada Orang yang Menyakiti
وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَاۚ فَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ (الشورى: 40)
“Dan balasan kejahatan adalah kejahatan yang setimpal. Tetapi siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya dari Allah.” (QS al-Syura: 40)
Secara naluri, manusia cenderung membalas dendam atau menuntut keadilan. Tapi Islam mempreskripsikan: maafkanlah! bahkan jika kamu punya hak untuk membalas. Ini bukan karena maaf itu selalu “menguntungkan”, tapi karena ia adalah bentuk kemuliaan akhlak. Preskripsi ini menantang ego dan naluri balas jasa.
- Memberi Sedekah Secara Diam-Diam
… وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِّنْ سَيِّاٰتِكُمْۗ … (البقرة: 271)
“… Jika kalian menyembunyikannya (sedekah) dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik bagi kalian. Allah akan menghapus sebagian kesalahan kalian …” (QS al-Baqarah: 271)
Naluri sosial manusia menginginkan amalnya diketahui, diapresiasi, bahkan dipuji. Tapi Islam mempreskripsikan: berilah tanpa diketahui, karena nilai amal bukan pada pengakuan publik, tapi pada keikhlasan. Ini adalah bentuk preskripsi etis yang menolak naluri popularitas.
- Shalat Malam (Tahajjud)
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا (الإسراء: 79)
“Pada sebagian malam lakukanlah salat tahajjud sebagai (suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS al-Isra`: 79)
Tidak ada insentif duniawi langsung dari bangun malam. Secara deskriptif, manusia memilih tidur, istirahat, atau efisiensi energi daripada bangun malam untuk shalat. Tapi Islam mempreskripsikan: bangunlah, meski sunyi, meski berat, karena itu adalah bentuk kedekatan spiritual yang tidak bisa diukur dengan “logika” dunia.
- Larangan Riba
… وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ … (البقرة: 275)
“… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba … (QS al-Baqarah: 275)”
Secara naluriah, manusia cenderung mencari keuntungan instan dan aman—itulah survival instinct dalam ekonomi. Riba menawarkan itu: uang “beranak” tanpa usaha. Tapi Islam justru melawan “logika” instan ini, karena riba merusak struktur sosial dan memperkuat dominasi pemilik modal tanpa risiko, khususnya ketika riba didukung oleh berbagai jaminan.
- Memberi Saat Kekurangan
… الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ … (آل عمران: 134)
“(Orang-orang yang bertakwa, yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit …” (QS Ali ‘Imran: 134)
Dalam kondisi ekonomi kekurangan atau pas-pasan, survival instinct berkata, “Simpan dulu, nanti kalau aman baru berbagi.” atau “Kalo’ gua kasih, gua bisa kelaparan.” Tetapi Islam justru menganjurkan memberi di saat sempit bahkan Allah menilai itu sebagai prilaku the best, karena nilai spiritual dan sosialnya jauh lebih besar. Preskripsi etis di sini adalah memberi bukan karena surplus, tapi karena iman dan pertimbangan sosial. Sistem yang hendak dibangun oleh Islam adalah rasa aman kolektif, bukan individual. Ini adalah ajaran penolakan terhadap “wajarisasi” naluri egoistik. Di sisi lain, ini adalah fasilah—amal kecil yang mungkin tak menyelamatkan dunia, tapi menyelamatkan kemanusiaan dalam diri kita. Maha besar Allah dengan segala pesan-pesanNya.
“Kiamat on going”
Setidak ada 2 (dua) jenis “kiamat” yang saat ini sedang berjalan saat ini. Sebetulnya tidak diperlukan tanda petik untuk menulis kiamat di sini, karena apa yang sedang berlangsung—kiamat sistem ekonomi dan kiamat kemanusiaan di Palestina—bukan istilah metaforis, tetapi realitas, tepatnya realitas dunia berdasarkan lensa kemanusiaan, spiritual dan etis.
Kita tidak sedang “memperkosa” teks hadis fasilah ke luar konteksnya―saat menariknya dalam pembacaan ini―, tapi justru menemukan bahwa hadis itu adalah manifesto amal dalam dunia yang sedang runtuh.
Hadis fasilah tidak bicara tentang pertanian. Ia bicara tentang keberanian untuk tetap berbuat baik di tengah kehancuran. Ia tidak menawarkan solusi sistemik, tetapi menjanjikan kemenangan dalam arti yang luas. Ia ingin berkata, “Jika anda masih punya satu amal kecil, dan dunia sedang runtuh, lakukanlah amal itu.”
Terkait dengan dua kiamat yang disebutkan di atas, pesan ini menjadi sangat relevan—bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai tindakan spiritual yang paling jujur.
Kiamat pertama: Kiamat sistem dan perilaku ekonomi.
Ekonomi modern telah membangun sistem yang bertumpu pada riba, spekulasi, eksploitasi, dan ketimpangan. Nilai-nilai Islam seperti keadilan (baca: anti riba), kejujuran, solidaritas, dan keberkahan bukan hanya diabaikan, tapi dianggap tidak relevan—seolah tak kompatibel dengan logika sistem yang dominan dan terlanjur mencengkeram.
Namun justru dalam lanskap yang rusak inilah, makna fasilah menjadi penting. Hadis fasilah berkata, “Jangan tunggu sistem ekonomi berubah menjadi baik. Jika anda masih bisa menanam satu fasilah—misalnya, merancang satu transaksi yang bersih dari tipu daya, menyusun akad yang terang dan adil, menolak bunga tersembunyi dan ‘logika’ margin keuntungan yang menyamar sebagai riba, atau menyuarakan satu edukasi publik tentang keadilan ekonomi—maka lakukanlah. Jangan biarkan kerusakan sistem membuat anda pasif, apalagi membuat anda mengatakan itu wajar. Mungkin, fasilah itu tidak akan tumbuh dalam sistem sekarang, tetapi anda menjadi saksi bahwa anda tidak tunduk pada kiamat nilai.”
Kiamat kedua: Kiamat kemanusiaan di Palestina.
Ini bukan sekadar konflik geopolitik. Ini adalah penghancuran sistematis terhadap tubuh, tanah, sejarah, dan makna. Ketika anak-anak dibunuh, rumah dihancurkan, dan narasi dibalikkan, maka yang hancur bukan hanya manusia, tapi kemanusiaan itu sendiri. Dan ketika dunia mendukung penjajahan itu—baik secara politik, ekonomi, maupun teknologi—maka ini adalah bentuk kiamat: kiamat nurani global.
Dalam kondisi seperti ini, hadis fasilah menjadi sangat sunyi tapi kuat. Ia tidak berkata, “Lawan dengan kekuatan besar.” Ia hanya berkata, “Jika anda masih punya satu amal kecil, lakukanlah.” Dalam konteks Palestina, fasilah itu bisa berupa satu donasi, satu edukasi, satu doa, satu penolakan terhadap narasi palsu, atau satu ajakan untuk tidak menggap normal penjajahan. Semua itu mungkin tampak kecil, bahkan tidak relevan secara politik. Tapi ia adalah bentuk perlawanan spiritual terhadap kiamat makna kemanusiaan dan hipokrasi global.
Kesimpulannya
Hadis fasilah tidak lagi berdiri sebagai teks sendirian tentang pertanian. Ia berubah menjadi manifesto spiritual tentang keberanian berbuat baik di tengah kehancuran. Hadis ini adalah ajakan untuk:
- Menanam makna meski hasilnya tidak akan pernah dipanen,
- Tetap berbuat baik meski dunia runtuh, dan
- Menolak pasrah dan diam di tengah keburukan sistem.
Hadis fasilah bukan preskripsi teknis, tapi preskripsi etis. Ia tidak bicara tentang hasil, tapi tentang kejujuran terhadap nilai. Ia tidak menawarkan kemenangan, tapi menegaskan bahwa amal kecil adalah bentuk perlawanan terhadap nihilisme, apatisme, dan kehancuran nilai.
Saat dunia yang sedang mengalami:
- Kiamat sistem ekonomi yang tidak berkeadilan, dan
- Kiamat kemanusiaan di Palestina.
hadis fasilah berkata,
- Jangan tunggu dunia membaik untuk mulai berbuat baik,
- Bahkan jangan tunggu dirimu menjadi orang baik untuk mulai berbuat baik,
- Jika kamu masih bisa menanam satu amal kecil, tanamlah,
- Ketidakberdayaan bukan identitas yang harus dipeluk erat, dan
- Jangan anggap wajar nilai moral yang hilang.