Frequently Asked Questions

FAQ

Halaman ini berisi beberapa pertanyaan yang sering diajukan oleh masyarakat yang telah kami catat.

1. Kilas Sejarah Pembentukan DSN-MUI (7)

Organisasi ini bernama Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia (disingkat DSN-MUI), dalam bahasa Arab dinamakan “al-Hai`ah al-Syar’iyyah al-Wathaniyyah li Majlis al-Ulama` al-Indunisiy” dan dalam bahasa Inggris dinamakan “National Sharia Board-Indonesian Council of Ulama”.

Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, yang biasa disingkat DSN-MUI, adalah lembaga yang melaksanakan tugas Majelis Ulama Indonesia dalam menetapkan fatwa yang berhubungan aktifitas ekonomi, bisnis, dan keuangan syariah serta mengawasi penerapannya dengan misi menumbuhkembangkan ekonomi syariah dan lembaga keuangan/bisnis syariah untuk kesejahteraan umat dan bangsa.

Visi organisasi ini adalah memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi masyarakat.

Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia pada hari Rabu, 23 Syawal 1419 Hijriyah bertepatan dengan 10 Februari 1999 M untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

Sejarah berdirinya Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dimulai dari Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diselenggarakan oleh MUI Pusat bersama berbagai elemen umat pada 1-22 Agustus 1990 di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.

Lokakarya ini dihadiri oleh 165 peserta yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk MUI Pusat, MUI Daerah (provinsi dan kabupaten/kota), ormas-ormas Islam, akademisi, pejabat, pengusaha, serta individu.

Lokakarya sebagaimana dimaksud di atas menghasilkan sebuah dokumen penting yang terdiri dari 6 (enam) bab, terdiri dari:

  1. pendahuluan,
  2. status hukum bunga,
  3. sistem perbankan tanpa bunga,
  4. pengembangan sosial ekonomi masyarakat,
  5. rekomendasi, dan
  6. penutup.

Hasil dari lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam dalam Musyawarah Nasional ke-4 MUI yang digelar pada 22-25 Agustus 1990 di Hotel Sahid, Jakarta.

Atas amanat Munas ke-4 MUI, dibentuk sebuah kelompok kerja yang bertugas untuk merintis pendirian Bank Islam di Indonesia, yang dikenal dengan Tim Perbankan MUI.

Tim Perbankan MUI bertugas menjalin pendekatan dan konsultasi dengan berbagai pihak terkait. Pada 1 November 1991, ditandatangani akta pendirian bank pertama di Indonesia yang menggunakan sistem tanpa bunga, yaitu PT Bank Muamalat Indonesia, yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia.

Upaya Tim Perbankan MUI mendapat dukungan positif dari pihak legislatif dan eksekutif, yang diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini mencakup aturan yang memungkinkan kegiatan perbankan menggunakan prinsip syariah, dikenal dengan istilah ‘bagi hasil’ (Lihat Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c). 

Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut, pada 30 Oktober 1992, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, yang tercantum dalam Lembaran Negara 1992/119, dengan penjelasan lebih lanjut dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 3505.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, tepatnya di dalam Pasal 5 dinyatakan:

  • Ayat 1: Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariat yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan sesuai dengan prinsip Syariat
  • Ayat 2: Pembentukan Dewan Pengawas Syariat dilakukan oleh Bank yang bersangkutan berdasarkan hasil konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia

Penjelasan Pasal 5 ayat 2 ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia dalam ayat ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

Pasal 5 dalam Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil merupakan dasar formal regulasi pertama bagi Majelis Ulama Indonesia untuk mendirikan Dewan Syariah Nasional. Namun sebelum Peraturan Pemerintah ini terbit, Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan Dewan Pengawas Syariah di Bank Mualamat Indonesia, antara lain K.H. Hasan Basri, Prof. K.H. Ali Yafie dan Prof. KH. Ibrahim Hosen.

Ada 3 (tiga) aspek yang membuat peran Majelis Ulama Indonesia -melalui DSN-MUI- menjadi strategis dalam pengembangan aktifitas ekonomi Syariah di Indonesia.

  1. Aspek historis
    • Majelis Ulama Indonesia telah berperan aktif sebagai penggerak utama dalam pendirian Perbankan Syariah di Indonesia sebagaimana dijelaskan di FAQ “Kilas Sejarah Pembentukan DSN-MUI”.
  2. Aspek sosiologis
    • Indonesia memiliki banyak organisasi keagamaan Islam, 70 organisasi di antaranya tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia. Sekitar setengah dari jumlah tersebut memiliki lembaga fatwanya masing-masing, yang metodenya bisa berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan kebingungan, ketidakpastian di tengah masyarakat, dan bahkan termasuk memungkinkan timbulnya konflik. Alhamduluillah, di tengah keragaman yang ada, fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia lebih diterima oleh masyarakat muslim Indonesia secara umum mengingat Majelis Ulama Indonesia dinilai mewakili hampir semua komponen umat Islam. Kondisi ini membuat fungsi Majelis Ulama Indonesia layaknya rumah besar umat Islam di Indonesia. Setidaknya ada 3 (tiga) alasan utama mengapa kewenangan fatwa berada di Majelis Ulama Indonesia:
      1. pertama, bank syariah atau Lembaga Keuangan Syariah lain masih memerlukan dukungan dari masyarakat muslim;
      2. kedua, bank syariah atau Lembaga Keuangan Syariah lain masih berjuang untuk bersaing dengan perbankan konvensional; dan
      3. ketiga, bank syariah atau Lembaga Keuangan Syariah lain membutuhkan dukungan politik dari legislatif dan eksekutif. Majelis Ulama Indonesia memiliki peran strategis dalam menjembatani kepentingan tersebut, baik antara bank syariah atau Lembaga Keuangan Syariah lain dengan masyarakat muslim, lembaga legislatif, dan pihak eksekutif.
  3. Aspek yuridis
    • sejak 2008, melalui berbagai peraturan negara seperti
      1. Undang-undang Perbankan,
      2. Undang-undang Perbankan Syariah,
      3. Undang-undang Bank Indonesia,
      4. Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara,
      5. Undang-undang Penjaminan,
      6. Undang-undang UU Asuransi, serta
      7. peraturan negara lainnya yang berada di bawah Undang-undang

      Majelis Ulama Indonesia diberikan kewenangan dalam menetapkan fatwa yang berhubungan dengan aktifitas ekonomi syariah yang dijalankan di Indonesia. Termasuk dalam Undang-undang No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUP2SK), Pasal 337 huruf h, yang menegaskan bahwa MUI adalah lembaga yang berwenang menetapkan fatwa syariah.

2. Aktifitas DSN-MUI (4)

Tugas-tugas Dewan Syariah Nasional MUI adalah:

  1. menetapkan Fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa LKS, LBS, dan LPS lainnya;
  2. mengawasi penerapan Fatwa melalui DPS di LKS, LBS, dan LPS lainnya;
  3. membuat Pedoman Implementasi Fatwa untuk lebih menjabarkan Fatwa tertentu agar tidak menimbulkan multi penafsiran pada saat diimplementasikan di LKS, LBS, dan LPS lainnya;
  4. mengeluarkan Surat Edaran (Ta’limat) kepada LKS, LBS, dan LPS lainnya;
  5. memberikan rekomendasi anggota dan/atau mencabut rekomendasi anggota DPS dan Penasihat Syariah atau Komite Syariah pada LKS, LBS, dan LPS lainnya;
  6. memberikan Rekomendasi calon ASPM dan/atau mencabut Rekomendasi ASPM;
  7. menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atau Pernyataan Keselarasan Syariah bagi produk dan ketentuan yang diterbitkan oleh Otoritas terkait;
  8. menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa LKS, LBS, dan LPS lainnya;
  9. menerbitkan Sertifikat Syariah bagi LBS dan LPS lainnya yang memerlukan;
  10. menyelenggarakan Program Sertifikasi Keahlian Syariah bagi LKS, LBS, dan LPS lainnya;
  11. melakukan sosialisasi dan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah; dan
  12. menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.

Wewenang DSN-MUi adalah sebagai berikut:

  • memberikan peringatan kepada LKS, LBS, dan LPS lainnya untuk menghentikan penyimpangan dari Fatwa yang diterbitkan oleh DSN-MUI melalui DPS;
  • merekomendasikan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan;
  • membekukan dan/atau membatalkan Sertifikat Syariah bagi LKS, LBS, dan LPS lainnya yang melakukan pelanggaran;
  • menyetujui atau menolak permohonan LKS, LBS, dan LPS lainnya mengenai usul penggantian dan/atau pemberhentian DPS dan Penasihat Syariah atau Komite Syariah pada lembaga yang bersangkutan;
  • merekomendasikan kepada pihak terkait untuk menumbuhkembangkan usaha bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah; dan
  • menjalin kemitraan serta kerjasama dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar negeri untuk menumbuhkembangkan usaha bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah.

Berikut adalah mekanisme atau langkah-langkah dalam proses penetapan fatwa di lingkungan Dewan Syariah Nasional MUI:

  1. BPH DSN-MUI menerima usulan, pertanyaan, dan/atau permohonan Fatwa mengenai suatu produk dan kegiatan LKS, LBS, dan LPS lainnya.
  2. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima usulan/pertanyaan, harus menyampaikan usulan tersebut kepada Ketua BPH DSN-MUI.
  3. Dalam hal terdapat kondisi yang dinilai memerlukan fatwa, BPH DSN-MUI dapat melakukan penyusunan draft fatwa tanpa adanya permohonan fatwa.
  4. Selambat-lambatnya 20 hari kerja dan dapat diperpanjang sesuai keperluan, Ketua BPH DSN-MUI membuat memorandum khusus yang berisi perintah penugasan kepada Tim BPH DSN-MUI untuk melakukan telaah, kajian dan pembahasan terhadap pertanyaan/usulan.
  5. Tim BPH DSN-MUI dalam melakukan tugasnya dapat mengundang para ahli dan pihak terkait.
  6. Tim BPH DSN-MUI menyampaikan hasil kajiannya kepada Pimpinan BPH DSN-MUI.
  7. Pimpinan BPH DSN-MUI menunjuk Tim Penyusun untuk menyusun draft fatwa berdasarkan hasil kajian Tim sebelumnya.
  8. Tim Penyusun menyampaikan draft fatwa kepada Pimpinan BPH DSN-MUI
  9. Pimpinan BPH DSN-MUI menyelenggarakan Rapat BPH untuk membahas draft fatwa yang telah disusun oleh Tim Penyusun.
  10. Pimpinan BPH DSN-MUI menugaskan Tim Penyusun untuk menyempurnakan draft fatwa berdasarkan masukan dari Rapat BPH.
  11. Tim Penyusun menyampaikan draft fatwa perbaikan kepada Pimpinan BPH DSN-MUI.
  12. Pimpinan BPH DSN-MUI menyampaikan draft fatwa kepada Pimpinan Badan Pengurus Harian DSN-MUI untuk pembahasan dan pengesahan fatwa melalui Rapat Pleno.
  13. Pimpinan Badan Pengurus menetapkan jadwal Rapat Pleno untuk pembahasan dan pengesahan fatwa.
  14. Fatwa DSN-MUI ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Badan Pengurus DSN-MUI.

Fatwa DSN-MUI dapat diakses oleh siapapun dan dipublikasikan melalui situs resmi DSN-MUI, www.dsnmui.or.id.

Berikut ini rincian mengenai informasi apa saja yang dipublikasikan di situs resmi DSN-MUI: