Artikel

Kaidah Fiqh: Al-Kharaj bi Adh-Dhaman

  1. Redaksi kaidah

    الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

    “Kehalalan hasil (ouput) dari sesuatu disebab adanya tanggungjawab (atas potensi kerugian dan biaya).”

  2. Makna

    1. Makna per Kata

      1. Kharaj

        Dalam literatur hukum Islam, kata kharaj seringnya dikaitkan dengan salah satu fiqh kebijakan publik (siyasah syar’iyyah). Di sana kharaj dimaknai sebagai pajak yang dipungut oleh pemerintah (dicetuskan pertama kali di bawah pemerintahan Umar –semoga Allah meridhainya, pasca wafat Rasululllah) atas lahan pertanian dengan kriteria-kriteria yang spesifik yang diperolehnya akibat perluasan wilayah Islam.

        Berbeda dengan makna kharaj di atas, dalam kajian kaidah fiqh kali ini, kharaj berarti output (hasil yang bersumber) dari sesuatu, baik output tersebut berupa uang, barang, atau berupa manfaat. Ketiga tipe ini biasanya disebut dengan istilah ghallah (dengan huruf ghayn berfathah). Contohnya:

        • buah yang dihasilkan oleh pohon (barang)
        • susu yang dihasilkan oleh hewan (barang)
        • keuntungan berupa uang dari deposito (uang)
        • imbalan sewa berupa uang dari menyewakan rumah (uang)
        • pembajakan sawah yang dihasilkan dari seekor kerbau (manfaat)
        • penggunaan mobil sebagai yang dihasilkan dari sebuah mobil (manfaat)

      2. Dhaman

        Kata dhaman dalam literatur fiqh Islam memiliki makna yang amat beragam tergantung bab yang sedang dibahas. Untuk mempersingkat, kata dhaman yang dimaksud dalam kaidah ini adalah tanggung jawab atas potensi resiko yang diemban.

    2. Makna Keseluruhan

      Keberhakan seseorang atas output/hasil/keuntungan dari sesuatu merupakan kompensasi atas tanggung jawab atau resiko kerugian yang dihadapinya terhadap sesuatu itu. Dalam bahasa yang lebih gaul, “Lha gua bertanggung jawab atas kerugian dan biaya -jika ada, maka gua dong yang berhak atas untungnya.”

      • Pemilik barang berhak atas manfaat atau hasil dari barangnya karena ia yang menanggung resiko kerugian jika terjadi kerusakan pada barang itu.

      • Pengelola investasi dalam kontrak mudharabah berhak atas keuntungan mudharabah sebagai kompensasi atas tanggung jawabnya terhadap potensi kerugian yang mungkin dialaminya, yaitu saat kontrak mudharabah tidak menghasilkan keuntungan. Di samping ia merupakan bagian dari internal stakeholder kontrak.

      • Pemilik modal dalam kontrak mudharabah berhak atas keuntungan mudharabah sebagai kompensasi atas tanggung jawabnya menanggung biaya-biaya yang muncul dan kerugian materi yang mungkin dialaminya, yaitu saat kontrak mudharabah tidak menghasilkan keuntungan. Di samping ia merupakan bagian dari internal stakeholder kontrak.

  3. Penjelasan

    Redaksi kaidah ini (al-kharaj bi adh-dhaman) diambil dari penggalan sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’iy, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasa`iy, Ibn Majah, dan Ibnu Hibban. Berikut teks lengkap hadisnya,

    أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

    “Seseorang (pembeli) telah membeli budak dan tinggal selama beberapa waktu bersamanya. Lalu dia menemukan adanya cacat di budak tersebut. Dia mengajak penjualnya untuk menyelesaikan masalah ini kepada Rasulullah –shalawat dan salam untuknya. Rasulullah –shalawat dan salam untuknya– memutuskan pembeli mengembalikannya kepada penjualnya, namun penjual berkata, “Wahai Rasulullah. Dia sudah memanfaatkannya!” Rasulullah –shalawat dan salam untuknya– menjawab, “Hasil (ouput) dari sesuatu diperoleh sebab adanya tanggung jawab (atas potensi kerugian dan biaya).”

    Dalam hadis ini, penjual setuju pengembalian budak yang sudah dijualnya karena adanya cacat (‘ayb), tetapi dia menuntut pembayaran upah sebagai kompensasi ganti rugi atas pemanfaatan budak dimaksud oleh pembeli selama berada di tangan pembeli. Rasulullah –shalawat dan salam untuknya– menolak tuntutannya dan menyatakan bahwa output dari budak tersebut (berupa jasanya yang diambil oleh pembeli) adalah legal (sah) karena ia memanfaatkanya atas dasar kompensasi dari tanggungjawabnya sebagai pemiliknya (dhaman) pada saat itu meskipun pada akhirnya ternyata jual beli dibatalkan (mafsukh) dan lalu budak dikembalikan kepada penjual.”

    Masih dalam konteks hadis di atas, di antara konsekuensi tanggung jawab pembeli sebagai pemilik (dhaman) adalah:

    • Memberi makan,
    • Menyediakan fasilitas yang diperlukan,
    • Menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh budaknya, dan
    • Biaya-biaya lain yang dibutuhkan untuk kepentingan budaknya.

    Dengan konsekuensi tanggung jawab seperti ini, maka pemanfaatan budak oleh pembeli selama berada dalam kuasanya (meskipun lagi-lagi dalam kenyataannya kontrak jual beli dibatalkan dan budak dikembalikan kepada penjual) adalah legal dan halal. Untuk itu, tuntutan penjual untuk meminta pembayaraan ganti rugi atas pemanfaatannya (ujrah) oleh pembeli ditolak oleh Rasulullah –shalawat dan salam untuknya.

    Intermezzo

    • Hadis ini juga merupakan dasar hukum bahwa pembeli berhak mengembalikan produk yang terbukti sudah cacat sebelum transaksi jual beli dan berhak menuntut uangnya kembali.

    • Hadis ini juga menggambarkan kecerdasan Rasulullah dalam memberikan jawaban dengan ungkapan singkat, namun padat. Begitu padatnya ungkapan terakhir beliau sehingga membuat ulama hukum Islam mengulasnya panjang lebar mengenai maksudnya. Kalau saja penulis ada di sana saat itu, penulis pasti juga bingung dengan maksudnya.

  4. Kasus-kasus terkait

    Biasanya, kaidah fiqh diciptakan dengan metode induksi (istiqra`). Caranya, mengumpulkan, mengamati, dan mencari kesamaan di antara hukum-hukum fiqh yang bertebaran di buku-buku fiqh, lalu menarik benang merah persamaan (asybah dan nazha`ir), dan terakhir merumuskan kesimpulan (kaidah). Namun kaidah yang dibahas kali ini memiliki keunikan tersendiri mengingat langkah (maslak) penciptaannya tidak menggunakan metode induksi dari sampel-sampel hukum parsial (juz`iyyat) yang mememiliki keserupaan.

    Pembentukan kaidah al-kharaj bi adh-dhaman justru datang dari hadis yang dikemukakan di atas. Itu sebabnya mengapa kita tidak dapat berambisi menemukan apa yang dikenal sebagai furu’ (kasus-kasus) yang menciptakan kaidah fiqh. Kaidah ini adalah adalah kaidah fiqh yang dibentuk dari kasus sengketa yang diceritakan oleh hadis di atas. Jika buku-buku kaidah fiqh sering berangkat dari contoh, di sini justru contoh berangkat dari kaidah.

    Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa kaidah fiqh ini memiliki rasa kaidah ushul fiqh. Alih-alih dibentuk dari banyak sampel hukum fiqh, ia justru menjadi dasar untuk memproduksi keputusan-keputusan hukum (istinbath). Penulis menyebutnya, “Kaidah fiqh rasa kaidah ushul fiqh.”

    Di antara beberapa jawaban fiqh atas beberapa kasus yang dibangun dengan kaidah ini adalah:

    1. Imbalan sewa atau keuntungan yang diterima oleh penerima titipan barang atau titipan uang yang menyewakan barang titipan atau menginvestasikan uang titipan tersebut adalah tidak halal. Alasannya? Seperti disinggung sebelumnya bahwa keberhakan atas output (keuntungan) dari sesuatu disebabkan adanya konsekuensi tanggung jawab kerugian yang diemban oleh pemilik sesuatu itu. Orang yang dipercaya untuk dititipkan barang atau uang bukan pemilik dari barang atau uang tersebut. Ia tidak memiliki resiko apa pun atas barang atau uang dititipkan kepadanya.

      Dalam bahasa teknis fiqh, dalam wadi’ah, hubungan kedua pihak adalah hubungan amanah, bukan hubungan dhaman. Kuasa penerima titipan atas barang atau uang yang dititipkan kepadanya adalah kuasa amanah (anda boleh menyebutnya amanat). Penerima titipan hanya memiliki hak menyimpan, memelihara, dan melindunginya. Tidak lebih. Untuk itu, ketika dia melakukan tindakan di luar haknya seperti menyewakan barang titipan atau menginvestasikan uang titipan maka keuntungan yang diperoleh dari tindakan ini menjadi milik pentitipnya, bukan menjadi miliknya.

      Pertanyaannya, dalam aktifitas perbankan syariah, dijumpai bahwa keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan (baca: investasi) uang tabungan/titipan (wadi’ah) diakui sebagai keuntungan bank. Bukankah seharusnya —selaras dengan kaidah ini— keuntungan investasi tersebut menjadi milik penabung sebagai pemiliknya?

      Jawabnya, istilah/term wadi’ah dalam produk tabungan dalam perbankan syariah adalah istilah yang tidak tepat, jika tidak boleh dikatakan salah, sebab fakta perjanjian dalam hubungan antara bank syariah dan penabung adalah:

      • penabung mengizinkan uang titipan tersebut untuk dikelola oleh bank;
      • bank bertanggung jawab mengembalikan uang penabung jika hilang; dan
      • bank tidak mewajibkan dirinya untuk menyerahkan seluruh atau sebagian hasil investasi uang tabungan kepada penabung.

      Dengan bangun kontrak seperti ini, perikatan antara penabung dan bank syariah adalah bukan perikatan wadi’ah, tetapi perikatan utang piutang (qardh), sehingga hubungan menjadi
      – bank sebagai pihak yang mengutang (muqtaridh); dan
      – nasabah penabung sebagai pihak yang mengutangkan (muqridh).
      Dengan perikatan perikatan qardh, bank berhak sepenuhnya atas keuntungan dari tindakannya melakukan investasi uang tabungan milik penabung. Layaknya saya utang kepada anda, lalu saya menghasilkan keuntungan dari pengelolaan utang tersebut, maka saya berhak penuh atas keuntungannya.

    2. Keuntungan yang diperoleh oleh pencuri atau koruptor yang menginvestasikan uang hasil curian atau korupsinya adalah tidak halal dengan alasan yang sama yang disebut di nomor 1. Memakan uang yang dihasilkan dari investasi uang curian atau korupsi adalah dosa baru, di samping dosa pencurian dan dosa korupsi itu sendiri.

      Seseorang mungkin mengatakan, “Seorang pencuri dan koruptor juga memiliki tanggung jawab (dhaman) atas uang curian dan uang korupsinya kalau saja uang yang berada di tangannya hilang. Dengan begitu, sesuai kaidah ini, hasil investasi uang curian dan uang korupsi adalah menjadi haknya dan halal karena jika uang itu hilang dari tangannya maka ia bertanggung jawab menggantinya. Dengan ungkapan lain, mereka adalah dhamin.”

      Jawabnya, tanggung jawab akibat kehilangan dimaksud, yang harus diemban oleh pencuri dan koruptor berhubungan dengan alasan karena ia menghilangkan aset orang/pihak lain. Untuk itu ia memiliki tanggung jawab (dhaman) atas uang tersebut. Kerugian yang harus diembannya bukan kerugiannya  sendiri, maksudnya bukan kerugian akibat uang itu miliknya sendiri, tetapi karena uang itu adalah uang milik orang lain. Dia terpapar resiko kerugian menggantinya jika uang itu hilang. Potensi resiko seperti ini tidak menghalalkannya untuk mengambil hasil investasi dari uang yang dicurinya. Dalam hal ini, kerugian dan potensi resiko yang terpapar padanya tidak berkaitan dengan uang itu sebagai aset miliknya. Sementara tanggung jawab (resiko) kerugian yang dimaksud dalam kaidah ini adalah tanggung jawab resiko yang berkaitan dengan erat dengan akibat kepemilikannya.

      Sampai sini, alasan ketidakhalalan keuntungan hasil investasi uang curian dan uang korupsi bukan karena ia dikecualikan dari kaidah, tetapi memang kasus tersebut tidak selaras dengan kaidah.

      Mungkin karena hal ini, penulis menemukan seseorang menambahkan “pagar” (qayd) dalam kaidah al-kharaj bi adh-dhaman, sehingga bunyi kaidah menjadi “al-kharaj bi adh-dhaman ma lam yakun dhaman at-ta’addiy wa at-taqshir“.

      Dua contoh di atas merupakan saduran penulis yang dipahami dari sebuah kalimat yang diutarakan oleh Ibnu Nujaym dalam buku “Al-Asybah wa An-Nazha`ir” saat membahas kaidah ini.

    3. A berhutang 1 juta Rupiah kepada B. Pada saat jatuh tempo, A belum mampu membayarnya dan ia meminta tolong kepada C untuk membayarnya. C menyerahkan uang 1 juta Rupiah kepada A untuk dibayarkan kepada B. Di tangan A, sebelum menyerahkannya kepada B, uang 1 juta Rupiah ini “diputarkan” dan menghasilkan keuntungan sebesar 100 ribu Rupiah. Pertanyaanya, berhakkah A atas kharaj 100 ribu ini?

      Silakan jawab sendiri. Berikan jawabannya disertai referensi, jika ada. Salah satu tradisi keilmuan yang berlaku di kampus di mana pun di muka bumi ini adalah mengutamakan pencarian referensi, bukan mengutamakan jawaban anda sendiri. Selalulah berasumsi bahwa anda buka orang pertama di bumi ini yang memikirkan dan membahas hal ini.

  5. Kaidah senada

    Muhammad Sidqiy `Ali Burnu (lahir 1931 M), seorang pakar hukum yang banyak melakukan kajian dan menulis buku-buku yang berhubungan dengan kaidah fiqh menyatakan bahwa kaidah fiqh yang senada dengan kaidah fiqh yang sedang kita bahas adalah:

    1. الغُرْمُ بِالْغُنْمِ
    2. النِعْمَةُ بِقَدْرِ النِّقْمَةِ، وَالنِّقْمَةُ بِقَدْرِ النِّعْمَةِ

مصادر البحث

  1. الأشباه والنظائر للسيوطي
  2. الأشباه والنظائر لابن نجيم
  3. نظرية التقعيد الفقهي وأثرها في اختلاف الفقهاء لمحمد الروكي
  4. كتاب الوجيز في إيضاح قواعد الفقة الكلية  لمحمد صدقي آل بورنو

Kutipan Harian

Kejujuran merupakan kunci utama meraih keberkahan aktifitas bisnis.

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا (رواه البخاري ومسلم)

“Penjual dan pembeli memiliki opsi khiyar (majlis) selama keduanya belum berpisah (secara fisik). Jika keduanya jujur dan saling terbuka maka transaksi jual beli mereka diberkahi. Jika keduanya berbohong dan menyembunyikan kecacatan maka keberkahan dihapus dari transaksi mereka.” (H.R. Al Bukhariy dan Muslim)

1262